BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makanan merupakan sumber kehidupan yang tidak bias
lepas dari kehidupan manusia. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia
senantiasa menggunakan berbagai macam cara untuk memenuhi hasil yang di
inginkan. Sayur adalah salah satu diantara berbagai macam jenis sumber pangan
yang digemari oleh masyarakat. Diantara berbagai macam sayuran bunga kol adalah
salah satu tanaman hortikultura yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat.
Kondisi lahan budidaya tidak
bisa lepas dari komponen biotik maupun abiotik yang saling berhubungan.
Komponen biotik bisa berupa hewan,
manusia dan tumbuhan, sedangkan komponen abiotik bisa berupa cahaya matahari,
suhu, kelembaban, dll. Keseimbangan alam sangat tergantung pada keseimbangan
komponen biotik dengan abiotiknya, semakin seimbang hubungan antara komponen
biotik dengan abiotiknya maka kesimbangan alam akan semakin terjaga.
Tumbuhan merupakan komponen terpenting dalam hal ini karena tumbuhan merupakan suatu
komoditas yang memang sengaja dibudidayakan untuk diambil hasilnya. Namun pertumbuhan dan perkembangan
tumbuhan sangat dipengaruhi oleh dampak serangan hama dan penyakit tanaman. Keadaan lingkungan suatu areal pertanaman sangat
mendukung daya adaptasi dan perkembangan OPT bagi tanaman, bila keadaan
lingkungan sesuai dengan hama dan penyakit tumbuhan maka akan menyebabkan
terjadinya peledakan jumlah populasi.
Dalam menjalankan usaha
bidang pertanian, keberhasilan petani dalam mengolah tanaman sangat
tergantung pada hasil produksi tanamannya. Hasil tanaman akan baik ketika
tanaman itu mendapat asupan zat makanan dari faktor abiotik yang mencukupi.
oleh karena itu usaha bidang pertanian tidak bisa lepas juga dari komponen
abiotik yang sangat berpengaruh pada tanaman.
Dengan mengadakan studi lapang kita dapat mengetahui data tentang komponen abiotik dan biotik,
mengetahui permasalahan yang sedang terjadi dilahan pertanian, mengetahui OPT
yang menyebabkan penurunan produktifitas dan kuwantitas produk. Kemudian data tersebut
diinterpretasikan, maka akan bisa apa saja faktor penyebab berkurangnya produktifitas
tanaman, dan solusi pengendalian OPT yang sedang menyerang tanaman. Dan untuk bisa mengetahui
perkembangan dan pertumbuhan tanaman, bisa dilakukan pengambilan data tentang
komponen abiotik setiap hari
1.2. Tujuan
1.2.1.Tujuan Umum
·
Pembelajaran bagi mahasiswa tentang studi lapang
·
Mengetahui sistem budidaya yang dipakai petani dalam
membudidayakan bunga kol
·
Dapat membandingkan antara cara budidaya petani dan
cara yang dianjurkan diliteratur
·
Dapat mengetahui cara petani dalam mengendalikan OPT
yang menyerang tanaman budidaya
1.2.2. Tujuan Khusus
·
Mengetahui
system
budidaya tanaman bunga kol di daerah setempat
·
Mengetahui
permasalahan
tentang hambatan dalam membudidayakan bunga kol
·
Mengetahui
jenis
OPT yang dominan menyerang pada tanaman bunga kol
·
Mengetahui
cara
penanggulangan petani dalam meminimaklan dampak serangan OPT dan cara
pengendalian OPT.
1.3
Manfaat
·
Diharapkan
data yang diperoleh dari hasil studi lapang bias dimanfaatkan sebagai salah satu
tambahan ilmu yang berguna bagi semua pembaca
·
Membuat
pembaca mengetahui apa saja permasalahan yang dihadapi petani dalam
membudidayakan bunga kol
·
Diharapkan
data yang diperoleh dari hasil studi lapang maka dapat meminimalisir kegagalan dalam usaha pertanian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian PHT
PHT merupakan suatu cara
pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada
dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan
agro-ekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sebagai sasaran teknologi
PHT adalah :
1.
Produksi
pertanian mantap tinggi,
2.
Penghasilan
dan kesejahteraan petani meningkat,
3.
Populasi
OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara ekonomi tidak merugikan dan
4.
Pengurangan
resiko pencemaran Lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan.
Tiga komponen komponen dasar
yang harus dibina, yaitu : Petani,Komoditi dasil pertanian dan wilayah
pengembangan dimana kegiatan pertanian berlangsung, disamping pembinaan
terhadap petani diarahkan sehingga menghasilkan peningkatan produksi serta
pendapatan petani, pengembangan komoditi hasil pertanian benar-benar berfungsi
sebagai sektor yang menghasilkan bahan pangan, bahan ekspor dan bahan baku
industri, sedangkan pembinaan terhadap wilayah pertanian ditujukan agar dapat
menunjang pembangunan wilayah seutuhnya dan tidak terjadi ketimpangan antar
wilayah.
(Cahyono,
Bambang. 1995.)
Banyak persoalan yang dihadapi
oleh petani baik yang berhubungan langsung dengan produksi dan permasalahan
hasil pertanian maupun yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, selain
merupakan uasaha bagi petani, pertanian sudah merupakan bagian dari
kehidupannya sehingga tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek yang lainya
juga merupakan peranan penting dalam tindakan-tindakan petani, dengan demikian dari
segi ekonomi pertanian berhasil atau tidaknya produksi dan tingkat harga yang
diterima oleh petani untuk hasil produksinya merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi perilaku dan kehidupan petani itu sendiri.
Sejalan dengan kemajuan
teknologi maupun perkembangan struktur sosial, ekonomi dan budaya teknologi
baru di pedesaan dapat membantu warga desa dalam meningkatkan usahataninya
dalam arti memperbesar hasil, meningkatkan pengelolaan untuk mendapatkan atau
nafkah dalam usahataninya tersebut atau dalam usahatani lainnya, sedangkan
teknologiadalah merupakan pengetahuan untuk menggunakan daya cipta manusia
dalam menggali sumber daya alam dan memanfatkanya untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka.
Tujuan Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
PHT adalah upaya yang terencana dan terkoordinasi untuk melembagakan penerapan prinsip-prinsip PHT oleh petani dalam usaha taninya serta memasyarakatkan pengertian-pengertian PHT dikalangan masyarakat umum dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
PHT adalah upaya yang terencana dan terkoordinasi untuk melembagakan penerapan prinsip-prinsip PHT oleh petani dalam usaha taninya serta memasyarakatkan pengertian-pengertian PHT dikalangan masyarakat umum dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
“Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) adalah upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan organisme
pengganggu tumbuhan (OPT) dengan menggunakan salah satu atau lebih dari
berbagai teknik pengendalia yang dikembangkan dalam satu kesatuan, untuk
mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan erusakan lingkungan hidup” .
Tujuan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah :
Tujuan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah :
a.
Menjamin
kemantapan swasembada pangan.
b.
Menumbuhkan
Kreativitas, dinamika dan kepemimpinan petani.
c.
Terselenggaranya
dukungan yang kuat atas upaya para petani dalam menyebarluaskan penerapan PHT
sehingga dapat tercipta pemabngunan pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan.
Usaha pokok Pengendalian Hama
Terpadu (PHT):
1.
Mengembangkan
sumberdaya manusia antara lain menyelenggarakan pendidikan formal dan non
formal bagi petani dengan pola Sekolah Lapangan PHT, dan pelatihan bagi petugas
terkait yakni Pengamat Hama dan Penyakit (PHP), Penyuluh Pertanian dan Instansi
terkait lainya.
2.
Mengadakan
studi-studi lapangan dan penelitian yang memberikan dukungan atas strategi,
pengembangan metode, dan penerapan PHT untuk tanaman padi dan palawija lainya.
3.
Memperkuat
kebijaksanaan, pengaturan dan penyelenggaraan pengawasan terhadap pengadaan,
pembuatan, peredaran serta pemakaian pestisida yang berwawasan lingkungan.
4.
Memasyarakatkan
pengembangan konsep PHT di Indonesia.
(Oka,
Ida Nyoman. 1995)
2.2. Pengertian OPT
Organisme pengganggu tanaman (OPT) adalah
semua organisme yang dapat menyebabkan penurunan potensi hasil yang secara langsung
karena menimbulkan kerusakan fisik, gangguan fisiologi dan biokimia. Organisme tersebut aktifitasnya merusak,
menggangggu, dan menyebabkan kerusakan atau kelainan fungsi fisiologis tubuh
tumbuhan.
(Astuti
Isti, 2006)
2.3. PengertianEkosistem
Pengertian ekosistem pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli ekologi
berkebangsaan Inggris bernama A.G. Tansley pada tahun 1935, walaupun konsep itu
bukan merupakan konsep yang baru. Sebelum akhir tahun 1800-an,
pernyataan-pernyataan resmi tentang istilah dan konsep yang berkaitan dengan
ekosistem mulai terbit cukup menarik dalam literatur-literatur ekologi di
Amerika, Eropa, dan Rusia.
(Astuti Isti, 2006)
Ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 1983). Tingkatan
organisasi ini dikatakan sebagai suatu sistem karena memiliki komponen-komponen
dengan fungsi berbeda yang terkoordinasi secara baik sehingga masing-masing
komponen terjadi hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik terwujudkan dalam
rantai makanan dan jaring makanan yang pada stiap proses ini terjadi aliran
energi dan siklus materi.
(Soerianegara, I dan Indrawan,
A. 1988.)
2.4. Komponen PHT
Manajemen
hama terpadu ( PHT) adalah berbasis ilmu pengetahuan, pendekatan akal sehat
untuk mengelola serangga, hewan pengerat, atau vektor lainnya. PHT menggunakan
berbagai teknik pengelolaan hama yang berfokus pada pencegahan hama,
pengurangan hama, dan penghapusan kondisi yang mengarah pada infestasi hama.
PHT mengelola hama dan vektor penyakit dengan mengelola lingkungan untuk
menghilangkan makanan, air, dan tempat berlindung.
Program
PHT juga sangat bergantung pada pendidikan warga dan pemantauan hama. Untuk PHT
untuk sukses, spesialis kesehatan lingkungan harus memperhitungkan perilaku dan
ekologi dari hama target, lingkungan di mana ia aktif, perubahan yang terjadi
dalam lingkungan, dan kegiatan orang-orang yang berbagi lingkungan. Sebuah
pendekatan PHT terbaik bila digunakan dengan teknik yang secara aktif
melibatkan warga dalam mengatasi masalah yang mungkin berkontribusi terhadap
infestasi hama, seperti perawatan rumah, sanitasi, dan rumah.
(Astuti
Isti, 2006)
Komponen PHT
Meskipun PHT mencakup beberapa teknik
pengendalian hama standar, empat komponen PHT jelas terpisah dari yang khas
pengendalian hama praktek-praktek yang hanya mengandalkan perangkap dan
keracunan. Keempat komponen itu yaitu:
a. Inspeksi
Pemeriksaan
area indoor dan outdoor untuk mengidentifikasi apa, di mana, dan mengapa hama
yang aktif. Sebuah inspeksi yang dilakukan pada awal dari program PHT; inspeksi
ringan terjadi sepanjang program PHT.
b. Pemantauan
Verifikasi
kehadiran atau tidak adanya hama. Pemantauan meliputi pengamatan langsung dari
hama; pengamatan langsung dari kotoran hama, noda, kerusakan, dll, dan koleksi
hama dalam perangkap.
c. Pengobatan
Tindakan
korektif atau intervensi untuk mengurangi jumlah hama. Pendidikan untuk
mengubah perilaku masyarakat adalah bagian paling penting dari program PHT yang
efektif. Membersihkan, sanitasi, dan menjaga hama keluar yang efektif dalam
jangka panjang.
d. Evaluasi
Tindak
lanjut untuk menentukan apakah pengobatan yang berhasil dan apa yang harus dilakukan
selanjutnya. Evaluasi adalah salah satu komponen paling penting dari rencana
PHT.
PHT
adalah, sistem yang komprehensif berbasis pendekatan pengelolaan hama dengan
tujuan menyediakan obat paling aman, paling efektif, paling ekonomis, dan
berkelanjutan untuk infestasi hama. PHT mengurangi risiko dari hama sementara
juga mengurangi resiko dari penggunaan berlebihan atau penggunaan yang tidak
tepat produk kimia berbahaya pengendalian hama.
(Oka, Ida Nyoman. 1995)
2.5. Komponen Ekosistem
Komponen penyusun ekosistem
terdiri atas dua macam, yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik
adalah komponen yang terdiri atas makhluk hidup, sedangkan komponen abiotik
adalah komponen yang terdiri atas benda mati. Seluruh komponen biotik dalam
suatu ekosistem membentuk komunitas. Dengan demikian, ekosistem dapat diartikan
sebagai kesatuan antara komunitas dengan lingkungan abiotiknya.
1.
Komponen
Biotik
a)
Berdasarkan
caranya memperoleh makanan.
Di
dalam ekosistem, organisme anggota komponen biotik dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu:
Produsen, yang berarti penghasil. Produsen merupakan organisme yang mampu menghasilkan zat makanan sendiri (autotrof) melalui fotosintesis. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah tumbuhan hijau atau tumbuhan yang mempunyai klorofil. Produsen ini kemudian dimanfaatkan oleh organisme-organisme yang tidak bisa menghasilkan makanan (heterotrof) yang berperan sebagai konsumen.
Produsen, yang berarti penghasil. Produsen merupakan organisme yang mampu menghasilkan zat makanan sendiri (autotrof) melalui fotosintesis. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah tumbuhan hijau atau tumbuhan yang mempunyai klorofil. Produsen ini kemudian dimanfaatkan oleh organisme-organisme yang tidak bisa menghasilkan makanan (heterotrof) yang berperan sebagai konsumen.
b) Konsumen, yang
berarti pemakai, yaitu organisme yang tidak dapat menghasilkan zat makanan
sendiri tetapi menggunakan zat makanan yang dibuat oleh organisme lain.
Organisme yang secara langsung mengambil zat makanan dari tumbuhan hijau adalah
herbivora. Oleh karena itu, herbivora sering disebut konsumen tingkat pertama.
Karnivora yang mendapatkann makanan dengan memangsa herbivora disebut konsumen
tingkat kedua. Karnivora yang memangsa konsumen tingkat kedua disebut konsumen
tingkat ketiga dan seterusnya. Proses makan dan dimakan di dalam ekosistem akan
membentuk rantai makanan. Perhatikan contoh sebuah rantai makanan ini: daun
berwarna hijau (Produsen) –> ulat (Konsumen I) –> ayam (Konsumen II)
–> musang (Konsumen III) –> macan (Konsumen IV/Puncak).
Dalam ekosistem, banyak proses rantai makanan yang terjadi sehingga membentuk jaring-jaring makanan (food web) yang merupakan kumpulan dari beberapa rantai makanan.
Dalam ekosistem, banyak proses rantai makanan yang terjadi sehingga membentuk jaring-jaring makanan (food web) yang merupakan kumpulan dari beberapa rantai makanan.
c) Dekomposer atau
pengurai. Dekomposer adalah jasad renik yang berperan menguraikan bahan organik
yang berasal dari organisme yang telah mati ataupun hasil pembuangan sisa
pencernaan. Dengan adanya organisme pengurai, organisme akan terurai dan
meresap ke dalam tanah menjadi unsur hara yang kemudian diserap oleh tumbuhan
(produsen). Selain itu aktivitas pengurai juga akan menghasilkan gas karbon
dioksida yang akan dipakai dalam proses fotositesis.
(Astuti Isti, 2006)
2.
Komponen
Abiotik
Komponen abiotik merupakan
komponen tak hidup dalam suatu ekosistem. Komponen abiotik sangat menentukan
jenis makhluk hidup yang menghuni suatu lingkungan. Komponen abiotik banyak
ragamnya, antara lain: tanah, air, udara, suhu, dan lain-lain.
a. Suhu
Suhu berpengaruh
terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk
hidup. Ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat hidup pada kisaran suhu
tertentu.
b. Sinar matahari
Sinar matahari
mempengaruhi ekosistem secara global karena matahari menentukan suhu. Sinar
matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tumbuhan sebagai
produsen untuk berfotosintesis.
c. Air
Air berpengaruh
terhadap ekosistem karena air dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme.
Bagi tumbuhan, air diperlukan dalam pertumbuhan, perkecambahan, dan penyebaran
biji; bagi hewan dan manusia, air diperlukan sebagai air minum dan sarana hidup
lain, misalnya transportasi bagi manusia, dan tempat hidup bagi ikan. Bagi
unsur abiotik lain, misalnya tanah dan batuan, air diperlukan sebagai pelarut
dan pelapuk.
d. Tanah
Tanah merupakan
tempat hidup bagi organisme. Jenis tanah yang berbeda menyebabkan organisme
yang hidup didalamnya juga berbeda. . Tanah juga menyediakan unsur-unsur
penting bagi pertumbuhan organisme, terutama tumbuhan.
e. Angin
Angin selain berperan
dalam menentukan kelembapan juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan
tertentu.
f. Garis lintang
Garis lintang yang
berbeda menunjukkan kondisi lingkungan yang berbeda pula. Garis lintang secara
tak langsung menyebabkan perbedaan distribusi organisme di permukaan bumi. Ada
organisme yang mampu hidup pada garis lintang tertentu saja.
(Cahyono,
Bambang. 1995)
2.6. Peran PHT dalam Ekosistem Pertanian
PHT sangat
berperan dalam berbagai hal dan menguntungkan dalam banyak hal. Salah satu
peran PHT dalam pertanian adalah dalam menjaga tatanan atau keseimbangan
ekosistem dalam lingkungan. Dan peran PHT tersebut mencakup tujuan dari
pertanian berlanjut. Konsep pertanian berkelanjutan muncul akibat
implementasi pertanian modern yang menurunkan kualitas sumber daya alam.
Pertanian modern dengan input tinggi mampu meningkatkan hasil tanaman, namun
di sisi lain menimbulkan kerusakan lingkungan yang untuk memperbaikinya diperlukan
biaya yang besar. Kerusakan lingkungan antara lain terlihat dari hilangnya permukaan
tanah, pencemaran air, hilangnya biodiversitas, ketergantungan pada sumber daya
yang tidak dapat diperbarui, meningkatnya biaya produksi dan jatuhnya harga
hasil pertanian, menurunnya komunitas desa, dan makin banyaknya petani. Di
Jalur Pantura, misalnya, telah terjadi pengurangan biodiversitas serangga hama
karena hilangnya serangga Thaia oryzicola dan Recilia dorsalis.
(Oka, Ida Nyoman. 1995)
Hal
ini akan mempengaruhi atau mengubah rantai makanan hama yang dikhawatirkan
berpotensi merusak tanaman budi daya.
Pertanian
berlanjut mengoptimalkan mengoptimalkan cara pengendalian hama tanpa merusak
ekosistem dalm lingkungan dan hal ini mencakup dalam tujuan PHT. Jadi untuk
mencapai suatu kesuksesan dalam pertanian perlu adanya PHT untuk tetap menjaga
keseimbangan ekosistem dalam lingkungan/lahan pertanian.
(Oka, Ida Nyoman. 1995)
2.7. Faktor Penyebab Timbulnya Peledakan Hama dan Penyakit
Terdapat
beberapa faktor yang memengaruhi ledakan populasi suatu hama tanaman. Faktor
pertama adalah kondisi cuaca yang menguntungkan. Cuaca dan iklim memiliki
pengaruh langsung terhadap laju pertumbuhan dan kematian suatu jenis serangga.
Pada
kondisi yang menguntungkan, laju perkembangan tinggi dan kematian rendah.
Inilah yang terjadi untuk serangan hama ulat bulu saat ini. Sepanjang tahun
2010 yang lalu kondisi cuaca sangat menguntungkan bagi perkembangan telur, yang
mencapai puncak perkembangan menjadi ulat pada bulan April 2011 ini.
Pengaruh
secara tidak langsung adalah pertumbuhan tanaman karena kondisi cuacanya baik.
Tanaman juga tumbuh dalam kondisi yang subur, sehingga menjadi tempat yang
nyaman untuk perkembangbiakan hama. Juga terdapat pengaruh tidak langsung dari
cuaca/iklim, yaitu perbedaan respons.
Bila
kondisi cuaca/iklim menguntungkan bagi pertumbuhan hama dibanding musuh
alaminya, laju pertumbuhan hama akan meningkat. Sebaliknya, bila kondisi lebih
menguntungkan untuk musuh alami, pertumbuhan hama akan terhambat.
Faktor kedua adalah budi daya yang intensif dan monokultur.
Faktor kedua adalah budi daya yang intensif dan monokultur.
Budi
daya yang intensif menjadikan lahan pertanian jenuh pemakaian dan
monokultur mengakibatkan suatu spesies tanaman tumbuh pada areal yang luas.
Dampaknya sangat menguntungkan bagi pertumbuhan hama tanaman tersebut.
Saat
lahan pertanian dibudidayakan secara intensif, hama tanaman secara
terus-menerus mendapat tempat yang menguntungkan, baik dari aspek suplai
makanan maupun lingkungan tumbuhnya dan musuh alaminya tidak ada.
Dalam
sistem monokultur, tanaman tertentu secara khusus dibudidayakan dengan
perawatan yang optimal dengan seluruh usaha tani, agar diperoleh hasil
maksimal. Kondisi ini menjadikan tempat yang nyaman untuk perkembangan hama.
Pada
lahan yang dibudidayakan secara multikultur, individu tanaman dari setiap
spesies hidup hanya sedikit dan tersebar. Hama yang datang untuk suatu
jenis tanaman akan kesulitan untuk mencari tempat yang cocok berkembang biak.
Ini karena satu tanaman yang sama terletak saling berjauhan dan tidak nyaman
untuk hama tersebut. Dalam situasi seperti ini, hama tanaman tidak akan
berkembang dengan baik.
Faktor
selajutnya adalah musnahnya lingkungan alami. Kegiatan ekstensifikasi pertanian
dan aktivitas pembangunan sektor lainnya dapat menghilangkan areal alami
seperti hutan yang merupakan habitat alami serangga beserta musuhnya. Ketika
areal alami tersebut dibuka, serangga akan pindah ke tempat lain.
Sementara
itu, faktor keempat adalah masuknya hama dan penyakit tanaman. Material
tanaman, termasuk hama dan penyakitnya, yang terbawa dari luar wilayah
teritorial dapat saja terjadi. Hama yang baru ini masuk bila lingkungannya
lebih menguntungkan dibanding tempat asalnya. Hama tersebut akhirnya
dapat menjadi hama yang baru dan tumbuh dengan pesat.
Penggunaan
insektisida merupakan faktor lain terjadinya ledakan hama. Pemakaian
insektisida yang intensif untuk memusnahkan hama tanaman tertentu dapat
mengakibatkan musuh alami dari hama tersebut turut terbunuh. Dengan hilangnya
musuh alami, kemampuan hidupnya menjadi lebih tinggi hingga mencapai tingkat
epidemik.
Penggunaan
insektisida yang tidak pandang bulu juga dapat mengakibatkan resistensi hama.
Hal ini terjadi sebagai akibat terbunuhnya genotipe yang mudah terkena
penyakit dan melahirkan genotipe yang lebih tahan pestisida. Setelah beberapa
tahun penggunaan pestisida yang sama (karena tanamannya monokultur), hama
tersebut akan benar-benar tahan terhadap obat. Dengan kondisi cuaca yang
menguntungkan, maka akan terjadi ledakan hama.
(Oka, Ida
Nyoman. 1995)
2.8. MetodePengendalian OPT
2.8.1. Pengendalian Secara Kultur Teknik
Pengendalian tersebut merupakan
pengendalian yang bersifat preventif, dilakukan sebelum serangan hama terjadi
dengan tujuan agar populasi OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) tidak meningkat
sampai melebihi ambang kendalinya.
Menurut Pedigo (1996) dalam Untung
(2006) sebagian besar teknik pengendalian secara budidaya dapat dikelompokan
menjadi empat dengan sasaran yang akan dicapai, yaitu 1) mengurangi kesesuaian
ekosistem, 2) Mengganggu kontinuitas penyediaan keperluan hidup OPT, 3)
Mengalihkan populasi OPT menjauhi tanaman,dan 4) Mengurangi dampak kerusakan
tanaman.
Beberapa contoh dari pengendalian
OPT secara kultur teknis:
a. Menggunakan varietas domestik
yang tahan: karakteristik dari varietas domestik adalah memiliki ketahanan yang
lebih baik karena cocok terhadap lingkungannya.
b. Rotasi Tanaman: pergiliran atau
rotasi tanaman yang baik adalah bila jenis tanaman yang ditanam pada musim
berikutnya, dan jenis tanaman tersebut bukan merupakan inang hama yang
menyerang tanaman yang ditanam pada musim sebelumnya. Dengan pemutusan
ketersediaan inang pada musim berikutnya populasi hama yang sudah meningkat
pada musim sebelumnya dapat ditekan pada musim berikutnya. Rotasi tanaman
paling efektif untuk mengendalikan hama yang memiliki kisaran makanan sempit dan
kemampuan migrasi terbatas terutama pada fase yang aktif makan.
Contoh rotasi tanamn misalnya
(Untung, 2006):
Pergiliran tanaman antara kedelai
antara tanaman bukan kacang-kacangan dapat mengendalikan hama-hama penting
seperti lalat bibit kacang (Agromyza phaseoli), kutu kedelai (Bemicia
tabaci).
c. Menghilangkan tanaman yang rusak.
Tanamn yang terkena serangan hama maupun patogen sebaiknya dibersihkan dari
kawasan budidaya.
d. Pengolahan Tanah: pengerjaan
tanah dapat dimanfaatkan untuk pengendalian instar hama yang berada dalam
tanah. Misal: Pengolahan tanah sangat efektif untuk membunuh telur belalang
kembara (Locusta migratoria) yang selalu diletakan di dalam tanah. Hama
akar seperti lundi (Holotricia helleri) mempunyai fase larva dan pupa di
dalam tanah, sehingga pengolahan tanah dapat mengangkat pupa dan memutus siklus
perkembangannya.
e. Tumpang Sari dan variasi penanamn
serta pemanenan: tumpang sari dapat mengendalikan suatu opt akibat keberadaan
tanaman yang bukan inangnya. Sedangkan variasi waktu panen akan memutuskan
siklus hidup hama. Misalnya: Tumpang sari antara kentang dan bawang daun,
tagetes ataupun lobak relatif dapat menekan populasi hama penting tanaman
kentang.
f. Pemangkasan dan Penjarangan:
kegiatan pemangkasan terkait dengan kebersihan tanaman. Sedangkan penjarangan
terkait dengan jarak tanam optimum suatu tanaman.
Pemangkasan pada beberapa tanaman
terutama bagian yang terkena infeksi sehingga tidak menyebar ke bagian tanaman
yang lain.
Penjarangan tanaman dapat
meningkatkan produktifitas. Jarak tanam dapat pula mempengaruhi populasi hama.
Pada tanaman padi, jarak yang terlalu dekat menguntungkan perkembangan dan
kehidupan wereng coklat.
g. Pemupukan: tindakan pemupukan juga dapat mempengaruhi keberadaan
OPT. beberapa pengeruh pemupukan terhadap serangan OPT antara lain:
Optimalisasi pemupukan N dapat
mengurangi serangan OPT karena pemupukan N yang berlebihan akan menjadikan
tanaman sukulen dan mudah terserang OPT. Pemberian pupuk mikro dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
serangan OPT.
(Cahyono,
Bambang. 1995)
2.8.2. Pengendalian
Secara Hayati (Biological Methods)
Merupakan taktik pengelolaan hama
yang dilakukan secara sengaja memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami
untuk menurunkan atau mengendalikan populasi hama.
Musuh alami yang berupa parasitoid,
predator dan patogen dikenal sebagai fator pengatur dan pengendali populasi
serangga yang efektif karena sifat pengaturannya yang tergantung kepadatan
populasi inang atau mangsa. Peningkatan populasi inang akan ditanggapi secara
numerik (respon numerik) dengan meningkatkan jumlah predator dan secara
fungsional (respon fungsional) dengan meningkatkan daya makan per musuh alami. Beberapa
tindakan antara lain:
a. Pengendalian
hayati dengan parasitoid dan predator. Misalnya: mengendalikan hama tikus
dengan memelihara burung hantu disekitar areal tanaman. Dengan menggunakan
mikroorganisme antagonis seperti Tricodherma sp.
b. Introduksi,
perbanyakan dan penyebaran musuh alami, Misalnya: Introduksi kumbang vedalia (Rodolia
cardinalis) dari Australia ke California untuk mengendalikan hama kutu
perisai (Icerya purchasi) yang menyerang jeruk. Introduksi parasitoid Tetrasitichus
brontisapae dari Jawa ke Sulawesi dapat berhasil menekan populasi hama
kelapa Brontispa longissima.
c. perlindungan
dan dorongan musuh alami. Misalnya: Campsomeris sp menyerang uret. Tricodherma
sp menyerang telur penggerek batang tebu.
(Soerianegara,
I dan Indrawan, A. 1988)
2.8.3. Pengendalian Secara Mekanis dan Fisik.
Mengendalikan menggunakan tindakan-tindakan
antara lain 1) Mematikan hama, 2) Mengganggu aktivitas fisiologis hama yang
normal dengan cara non-pestisida, 3) mengubah lingkungan sedemikian rupa
sehingga lingkungan menjadi kurang sesuai bagi kehidupan OPT. Beberapa tindakan
tersebut yaitu:
a. Penghancuran dengan tangan. Cara ini
dailkukan dengan mencari adanya hama dan selanjutnya dilakukan pemusnahan. Fase
hidup hama yang dikumpulkan dan dibunuh adalah yang mudah dtemukan seperti
telur dan larva. Atau dapat pula mengumpulkan bagian tanaman yang terserang
hama. Misal: pengumpulan kelompok telur dan larva instar ke-3 untuk
pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura). Pengendalian hama
penggerak batang tebu (Schiropophaga nivella) adalah dengan memotong dan
mengumpulkan pucuk tanaman tebu yang terserang.
b. Menutup dengan jaring atau paranet.
Dapat dilakukan untuk mencegah masuknya atau mengganggunya ngengat yang akan
berkembang biak pada tanaman.
c. Perangkap. Menggunakan alat
perangkap yang disesuaikan berdasarkan jenis hama dan fase hama yang akan
ditangkap. Misal: Kepiting mati yang diletakan di sekeliling pertanaman padi
mampi menekan populasi walang sangit. Bau busk yang ditimbulkan kepiting mati
dapat menjadi penarik bagi walang sangit. Dan apa bila sudah terkumpul, walang
sangit dapat segera dimusnahkan. Gadung atau jagung dapat dijadikan umpan untuk
mengendalikan tikus. Tikus juga dapat diperangkap dengan perangkap yang terbuat
dari besi maupun bambu.
d. Perlakuan
panas. Faktor suhu dapat mempengaruhi penyebaran, frekuenditas, kecepatan
perkembangan, lama hidup dan mortalitas hama. Setiap perubahan faktor fisik
mempengaruhi berbagai parameter kehidupan tersebut. Misal: mengendalikan hama
uret dengan membalikan tanah. Telur yang terdapat didalam tanah akan terangkat
ke permukaan dan akan terkena sinar matahari secara terus menerus yang
menyebabkan tempeeratur dan kelembaban berbeda dengan keadaan semula. Hal ini
mengakibatkan telur tidak menetas. Pengendalian hama gudang dapat dilakukan
dengan memanaskan gudang dengan pemanas pada kisaran suhu tertentu.
e. Penggunaan lampu perangkap.
Dipengaruhi oleh adanya daya tarik serangga terhadap cahaya lampu fungsi utama
lampu ini hanya menarik perhatrian serangga yang selanjutnya ketika sudah
terkumpul dapat dikendalikan dengan ditangkap. Misal: pengendalian wereng
hijau. Lampu petromaks dapat dijadikan perangkap penggerak batang padi putih.
f. Suara. Penggunaan gelombang
suara. Secara teoritik ada tiga metode pengendalian menggunakan suara. 1)
penggunaan intensitas suara yangs angat tinggi sehingga dapat merusak serangga,
2) Penggunaan suara lemah guna mengusir serangga, dan 3) Merekam dan
memperdengarkan suara yang diproduksikan serangga guna mengganggu parilaku
serangga sasaran. Misal: Penggunaan gelombang elektromagnetik untuk mengurangi
populasi hama burung yang menyerang tanamn bebijian.
(Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988)
2.8.4. Pengendalian Secara Kimiawi
Pengendalian dengan cara ini
merupakan pengendalian yang biasanya dilakukan sebagai alternatif terakhir.
Karena kebanyakan masing menggunakan bahan kimia sintetik yang membahayakan.
Akan tetapi pada dasarnya penggunaan bahan kimia untuk pengendalian OPT tidak
serta merta membasmi keseluruhan opt dengan membunuhnya. Bahan kimia yang
banyak dikenal untuk melakukan pemberantasan hama adalah pestisida. Di bidang
pertanian penggunhaan pestisida mampu menekan kehilangan hasil tanaman akibat
serangan hama dan penyakit yang memungkinkan peningkatan produksi pertanian
dapat dicapai. Beberapa kelompok pada pembahasan ini antara lain:
a. Atraktan
Merupakan senyawa yang berfungsi menarik serangga pada lokasi yang mengandung
zat tersebut. Misalnya: minyak sereh wangi (Andropogon nardus) bersifat
atraktan terhadap lalat buah baik jantan maupun betina. Hasil penelitian Guntur
(2010) menunjukkan bahwa atraktan nabati ekstrak selasih dan ekstrak daun wangi
mampu memerangkap hama lalat buah jantan.
b. Repelen
Merupakan senyawa penolak hama atau pengusir hama dari objek yang mempunyai
senyawa tersebut. Misalnya:Menggunakan bagian tanaman suren terbukti merupakan
repellant (pengusir atau penolak) serangga, termasuk nyamuk. Daun dan kulit
kayunya beraroma cukup tajam. Secara tradisional, petani menggunakan daun suren
untuk menghalau hama serangga tanaman dan dapat digunakan dalam keadaan hidup.
Beberapa minyak atsiri yang umum
dipakai sebagai penolak serangga (insect repellent) diantaranya berasal
dari bunga lavender, eucaliptus, kulit jeruk,
c. Insektisida
Merupakan senyawa yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu
tanaman jenis insekta atau serangga. Misalnya: Daun Azadirachta indica
dapat mengendalikan Plutella
xylostela pada kubis.
d. Sterilan
merupakan senyawa yang digunakanuntuk mensterilkan suatu ruang dari organisme
misalkan sterilan tanah artinya mensterilkan tanah dari keberadaan organisme.
e. Growth
Inhibitor Merupakan senyawa yang difungsikan untuk menghambat pertumbuhan
serangga. Dalam istilah lain disebutkan dengan IGR yaitu Insect Growth
regulator. Merupakan senyawa yang dapat merubah atau mempengaruhi proses pertumbuhan
dan perkembangan serangga. IGR pada hakikatnya menggunakan aktivitas normal
endokrin serangga. Pengaruh IGR tersebut dapat terjadi pada waktu perkembangan
embrionik, perkembangan larva atau nimfa, metamorfosis, proses reproduksi,
ataupun perilaku diapause. Beberapa kelompok IGR antar lain: GR penghambat
khitin yaitu buprofezin pernah diaplikasikan untuk mengendalikan hama
wereng coklat di Indonesia.
(Astuti
Isti, 2006)
2.8.5. Pengendalian Secara Genetik
Pengendalian ini lebih ditujukan
terhadap usaha-usaha rekayasa genetik untuk menciptakan tanaman yang tahan
terhadap serangan OPT tertentu ataupun dengan memanipulasi genetik OPT sehingga
opt tersebut tidak dapat berkembang biak. Beberapa tindakan yang termasuk
kedalam pembahasan bab ini adalah:
a. Penggunaan varietas tahan. Merupakan
pengendalian paling efektif, murah dan kurang berbahaya bagi lingkungan.
Varietas tahan diperoleh melalui serangkaian penelitian dengan memecahkan
kelemahan dari hama tertentu. Teknik pengembangan tanaman tahan hama sengaja
memanfaatkan proses pembentukan sifat ketahanan dan perlawanan tanaman terhadap
serangan serangga herbivora yang terjadi secara koevolusioner di alam. Beberapa
contoh pengendalian ini adalah: penggunaan Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW)
terbukti mampu mengendalikan haam wereng coklat padi di Indonesia. Salah satu
varietas jagung yang mengandung 2,4-hydroxy-7-methoxy-2H-1,4-benxoaxazin-3(4H)-one
(DIMBOA) pada jagung untuk memperoleh ketahanan terhadap penggerek batang
jagung Ostrinia.
b. Pengendalian
Dengan Serangga Mandul. Disebut juga teknik otosidal merupakan teknik
pengendalian hama dengan pemab\ndulan serangga jantan, serangga betina atau
keduanya. Serangga mandul sudah mulai banyak diupayakan katrena efektifitasnya
mengurangi populasi serangga tersebut. Misalnya dengan melepas jantan atau
betina mandul, maka ketika terjadi perkawinan, tidak lah terbentuk keturunan
dan dalam jangka waktu tertentu akan sangat mengurangi populasi hama tersebut.
Beberapa contoh pengendalian dengan pemandulan hama: Teknik pelepasan jantan
mandul secara besar-besaran pernah dilakukan di Florida, Puerto Rico dan
Amerika Selatan untuk pengendalian “screwworm” Cochliomyia hominivorax
yaitu lalat ayang menyerang ternak. Dapat pula dipadukan dengan teknik
pengendalian hayati, yaitu pelepasan telur Habrobracon hebetor lebih
efektif mengendalikan hama Ephestia cautella bila jenis jantan
dimandulkan terlebih dahulu.
(Astuti
Isti, 2006)
2.8.6. Pengendalian Menggunakan Regulasi Atau Tata
Peraturan.
Salah satu alternatif pengendalian
OPT adalah dengan menggunakan peraturan yang telah diterapkan pemerintah
setempat. Peraturan-peraturan yang telah dibuat pada dasarnya ditujukan untuk
mempersempit penyebaran OPT ke daeerah lain maupun mengatur tindakan-tindakan
yang sekiranya dapat menimbulkan adanya serangan OPT. Beberapa tindkan
pengendalian menggubnakan regulasi diantaranya:
a. Karantina
Tanaman Dan Binatang. Dengan adanya tata aturan mengenai karantina yaitu suatu
tindakan isolasi terhadap suatu barang dalam hal ini adalah tanaman dan
binatang sebelum di manfaatkan secara luas di suatu wilayah, maka penyebaran
OPT yang adpat disebabkan dari luar adaerah dapat dihindari. Dasar hukum
pelaksanaan karantina adalah UU No
16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Beberapa contoh
pengaruh karantina terhadap pencegahan penyebaran adalah: Pemberian kategori
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) seprti OPTK golongan 1 kategori
A1 yaitu Corynebacterium flaccumfaciens, bakteri yang menyerang benih
kedelai yang masih beredar di USA. Klasifikasi OPTP (Organisme Pengganggu
Tumbuhan Penting) misalnya pada kasus OPTP penting adalah penyakit rebah
kecambah (Phytium sp.),penyakit Tilletia caries pada gandung yang
sering terbawa oleh benih.
b. Program
Pemberantasan dan Penekanan. Bebrapa tindakan pemberantasan dan penekanan
terhadap perkembangan OPT telah dilakukan antara lain: Mengganti tanaman Kopi
Arabika yang notabene lebih enak akan tetapi mudah terserang Hemilia vastatrix
dengan Kopi robusta. Pemusnahan dengan membakar, menghancurkan maupun mengubur
OPT maupun bagian yang terserang untuk menghindari penyebaran.
(Soerianegara, I dan Indrawan, A.
1988)
2.9. Konsep Ambang Ekonomi Konsep Aras Luka Ekonomi
Konsep aras luka ekonomi untuk pertama
kalinya dikemukan oleh ahli entomologi. Dalam konsep aras luka ekonomi terdapat
3 komponen/element utama yaitu kerusakan ekonomi, aras luka ekonomi, dan ambang
ekonomi.
a. Kerusakan ekonomi.
Kerusakan ekonomi merupakan komponen dasar
dari konsep aras luka ekonomi. menurut Stern et all. Kerusakan ekonomi adalah
jumlah atau tingkat kerusakan yang dapat kita gunakan ssebagai dasar untuk
mengeluarkan biaya melakukan tindakan pengendalian. Kerusakan ekonomi ini
dimulai pada saat besarnya kerugian akibat kerusakan sama dengan biaya
pengendalian yang dikeluarkan.
Dalam memahami kerusakan ekonomi ini, kita harus bisa membedakan pengertian antara luka (injury) dan kerusakan (damage). Luka lebih diartikan pada efek keberadaan penyakit pada tanaman inangnya (misal menyebabkan bercak, layu, dll), sedangkan kerusakan lebih pada pengukuran (lebih pada dampak ekonomi) efek keberadaan penyakit pada tanaman inangnya (misal menurunkan hasil dan kualitas).
Penentuan kerusakan ekonomi ini sangat penting, karena petani dapat menentukan kapan tindakan pengendalian harus dilakukan, sehingga kerugian akibat penyakit dapat diminimalkan. Konsep kerusakan ekonomi ini akan berdampak pada besarnya hasil yang akan diperoleh petani dari usaha pengendalian yang dilakukannya. Besarnya nilai yang dapat diselamatkan dari tindakan pengendalian atau yang biasa disebut ambang perolehan dapat dihitung dengan rumus
Perhitungan seperti diatas diharapkan petani dapat menentukan kapan tindakan pengendalian harus dilakukan agar biaya pengendalian yang dikeluarkan tidak melebihi niali kehilangan hasil akibat penyakit yang dapat diselamatkan.
Dalam memahami kerusakan ekonomi ini, kita harus bisa membedakan pengertian antara luka (injury) dan kerusakan (damage). Luka lebih diartikan pada efek keberadaan penyakit pada tanaman inangnya (misal menyebabkan bercak, layu, dll), sedangkan kerusakan lebih pada pengukuran (lebih pada dampak ekonomi) efek keberadaan penyakit pada tanaman inangnya (misal menurunkan hasil dan kualitas).
Penentuan kerusakan ekonomi ini sangat penting, karena petani dapat menentukan kapan tindakan pengendalian harus dilakukan, sehingga kerugian akibat penyakit dapat diminimalkan. Konsep kerusakan ekonomi ini akan berdampak pada besarnya hasil yang akan diperoleh petani dari usaha pengendalian yang dilakukannya. Besarnya nilai yang dapat diselamatkan dari tindakan pengendalian atau yang biasa disebut ambang perolehan dapat dihitung dengan rumus
Perhitungan seperti diatas diharapkan petani dapat menentukan kapan tindakan pengendalian harus dilakukan agar biaya pengendalian yang dikeluarkan tidak melebihi niali kehilangan hasil akibat penyakit yang dapat diselamatkan.
b. Aras Luka Ekonomi (Ambang Kerusakan).
Tujuan akhir dari tindakan pengendalian
penyakit adalah untuk menekan penyakit pada level yang tidak menimbulkan
kerugian secara ekonomi baik pada jumlah maupun kulitas hasil, dengan demikian
ambang kerusakan (tingkat kerusakan ekonomi) haruslah diketahui untuk mencegah
kerugian yang lebih besar akibat adanya penyakit. Tingkat/level xt tertinggi yang
dapat menimbulkan kerusakan ekonomi disebut juga dengan aras luka ekonomi atau
dalam entomologi “jumlah kepadatan populasi terendah yang dapat menyebabkan
kerusakan secara ekonomi”. Secara matematika pengukuran ALE dapat modelkan
sebagai berikut
c. Ambang ekonomi (ambang tindakan).
Selain
berdasarkan pada nilai ALE pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan
pengendalian adalah menggunakan ambang ekonomi (AE). Ambang ekonomi adalah
suatu tingkat/level kerusakan penyakit (keparahan penyakit) yang mengharuskan
dilakukan pengendalian sehingga penyakit tidak berkembang mencapai ALE. Dengan
kata lain AE adalah ambang tindakan (action threshold). Nilai AE lebih rendah
dari ALE, sehingga petani mempunyai kesempatan melakukan tindakan pengendalian
untuk mencegah berkembangnya penyakit mencapai/melebihi ALE. Dengan demikian
diharapkan tindakan pengendalian yang dilakukan selain menekan penyakit
(keparahan penyakit) mencapai level yang dapat menimbulkan kerusakan ekonomi,
juga diharapkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pengendalian lebih rendah
(setidaknya sama dengan) nilai kehilangan hasil yang dapat diselamatkan oleh
tindakan pengendalian tersebut.
Model
perkembangan penyakit, baik monosiklik dan polisiklik r (R) adalah laju
perkembangan penyakit, dimana nilainya bervariasi bergantung pada virulensi
patogen, ketahanan tanaman inang, dan lingkungan yang mendukung. Jika xo, r dan
ambang kerusakan telah diketahui, maka dapat diprediksikan kapan penyakit akan
mencapai/melebihi nilai ambang kerusakan, sehingga petani harus tahu kapan
harus melukan tindakan pengendalian (pada waktu yang tepat).
Nilai
AE ini bukanlah nilai yang konstan (statik) tetapi bervariasi bergantung pada
ALE (ketahan tanaman), fase pertumbuhan tanaman pada saat patogen menginfeksi
tanaman, keadaan iklim, geografi daerah, dan system budidaya.
(Astuti
Isti, 2006)
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Pelaksanaan fieldwork Dasar Perlidungan Tanaman
tentang studi lapang di lahan pertanian hortikultura dilaksanakan pada pukul
08.00 – 11.00 WIB hari Senin tanggal 18 Desember 2011,yang bertempat di Desa Tegalwaru Kecamatan Dau Kabupaten
Malang. Pelaksanaan diikuti oleh dua kelompok yang terbagi menjadi 2 studi
lapang yaitu komoditas tanaman pangan dan hortikultura.
3.2 Metode Kerja
|
|||||||||||
|
|||||||||||
|
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1. SistemBudidaya yang Dijalankan Petani
Sistem
yang dipakai oleh petani ialah system rotasi tanaman padalahan seluas 600m2
dengan jarak tanam 40cmx50cm, dengan pergiliran tanaman hanya tergantung dari
permintaan pemanen. Pada musim hujan lebih sering menanam jenis sayur-sayuran seperti
bunga kol (varietas Bima, varietas Lola), karena para petani merasa jika melakukan
system polikultur kurang optimal hasilnya.
Pengolahan
tanah yang dilakukan cukup dengan pembalikan tanah dengan campuran pupuk kandang.
Untuk pemakaian pupuk, lebih sering memakai pupuk mutiara dari pada pupuk kimia/
organik (pupuk kimia seperti Pupuk Urea malah merusak tanah, pupuk organik malah
semakin lama dan sedikit produksinya).Hanya saja, biasanya juga menggunakan pupuk
olahan sendiri.Dilakukan dengan campuran antara air dan pupuk, terus disiramkan.
4.1.2. Hama yang Ditemukan di Lapang
Hama yang ditemukan di LahanPertanian Hortikultura ini
ialah ulat grayak.
Klasifikasi Hama Ulat Grayak
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Subfamili : Amphipyrinae
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Subfamili : Amphipyrinae
Famili : Noctuidae
Genus : Spodoptera
Spesies : SpodopteralituraF.
(Anonymousa,2011)
Ciri-ciriMorfologi/Bioekologi
Sayap ngengat
bagian depan berwarna coklat atau keperak-perakan, sayap belakang berwarna keputih-putihan
dengan bercak hitam. Malam hari ngengat dapat terbang sejauh 5 kilometer.
Telur berbentuk
hamper bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang-kadang tersusun 2
lapis), berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan berkelompok (masing-masing
berisi 25 - 500 butir) yang bentuknya bermacam-macam pada daun atau bagian tanaman
lainnya.Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu
tubuh bagian ujung ngengat betina.
Larva
mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai kalung/bulan sabit berwarna hitam pada
segmen abdomen yang keempat dan kesepuluh.Pada sisi lateral dorsal terdapat garis
kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau
hitam kecoklatan dan hidup berkelompok.
4.1.3. Penyakit yang
Ditemukan di Lapang (Klasifikasi, Ciri, danFotoLapang)
Penyakit yang ditemukan di Lahan Pertanian Hortikultura
ini ialah Plasmodiophora brassicae.,
cacar pada daun, dan jamur pada daun yang bermula dari panas matahari dan hujan
secara terus-menerus, mengakibatkan daun mulai berjamur kemudian mongering.
Klasifikasi Plasmodiophorabrassicae
Akar
bengkak atau akar pekuk (Plasmodiophora brassicae Wor.)
Penyebab:
cendawan Plasmodiophora brassicae.
Gejala:
1) pada
siang hari atau cuaca panas, tanaman tampak, tetapi pada malam atau pagi hari
daun tampak segar kembali.
2) pertumbuhan
terlambat, tanaman kerdil dan tidak mampu membentuk bunga bahkan dapat mati.
3) akar
bengkak dan terjadi bercak-bercak hitam.
Pengendalian:
1) memberi
perlakuan pada benih seperti poin penyiapan benih.
2) menyemai
benih di tempat yang bebas wabah penyakit.
3) melakukan
sterilisasi media semai ataupun tanah kebun dengan Besamid-G 40-60 gram/m2
untuk arel pembibitan atau 60 gram/m2untuk kebun.
4) melakukan
pengapuran untuk menaikkan pH.
5) mencabut
tanaman yang terserang penyakit.
6) pergiliran
atau rotasi tanaman dengan jenis yang tidak sefamili.
(Cahyono,
Bambang. 1995. )
4.1.4. MusuhAlami yang Ditemukan di
Lapang (Klasifikasi, Ciri, dan Foto Lapang)
Musuh alami yang ditemukan di
Lahan Pertanian Hortikultura in ialah capung, laba-laba.
KlasifikasiCapung
Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Odonata
Upaordo : Epiprocta
Infraordo : Anisoptera
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Odonata
Upaordo : Epiprocta
Infraordo : Anisoptera
Family : Libellulidae
Genus : Crocothemis
Species : Crocothemis
servilia
(Anonymousa, 2011)
Klasifikasi Laba-laba
Keluarga : Araneidae
Genus : Argiope
Spesies : Argiope aurantia
(Anonymousa, 2011)
4.1.5. Kendala Budidaya Tanaman Oleh Petani
Kondisi lahan pertanian di daerah tersebut yang
memiliki struktur tanah tidak mantab sehingga tanah mudah runtuh, bias saja
karena pengaruh topografi lahan ataupun tingkat curah hujan yang turun pada
kondisi wilayah tersebut.
Sedangkan untuk perawatannya, pada musim hujan
seperti sekarang ini relative sulit untuk merawatnya karena tingkat penyerangan
penyakit tinggi, lalu untuk pemakaian pupuk masih menggunakan pupuk kimia
karena dirasa pupuk ini lebih cepat dan banyak produksinya dari pada pupuk
organik yang relatif lama dan hasilnya kurang banyak.
Lalu, untuk pengairan di sekitar lahan masih dirasa sulit
karena jauh dari sumber mata air. Biasanya para petani menggunakan air
luruh-luruhan saat musim kemarau, namun berlebih saat musim hujan.
4.1.6. Pengendali OPT yang Dilakukan Petani
Pengendalian OPT yang dilakukan dibedakan kedalam berbagai macam cara :
a) Pengendalian secara mekanis atau fisik mencabut gulma secara langsung pada lahan pertanian, selain dengan memakai
herbisida pada pengendaliannya.
b)
Pengendalian dengan pestisida sering melakukan pengendalian OPT berupa penyemprotan pestisida kimia seperti
Prevaton untuk ulat-ulat, jenis-jenis herbisida untuk gulma dan jenis-jenis fungsida
untuk jamur-jamur.
4.1.7. Kebutuhan Pestisida yang Digunakan dan Teknis Penggunaan
Pestisida oleh Petani
Kebutuhan saat pemberian pestisida menyesuaikan ada tidaknya
hama. Saat musim hujan pemberian dilakukan 4 kali, musim kemarau dilakukan lebih
dari 4 kali, sehingga dalam seminggu bias dilakukan 1 kali. Insektisida yang
digunakan adalah Prevaton 50 SC untuk mengendalikan hama ulat daun, ulat
grayak, dan serangga-seranggga lain yang menjadi hama tanaman. Sedangkan
fungisida yang digunakan adalah Antracol 75 WP untuk mengendalikan jamur pada
tanaman bunga kol. Penggunaan insektisida dan fungisida yang di gunakan petani
adalah tipe SC dan WP, kedua formulasi ini penggunaannya harus dilarutkan dan
diencerkan dengan menggunakan air, setelah di larutkan dalam air disempprotkan
dengan menggunakan Handsprayer semiotomatis. Penggunaan pestisida dilakukan
berdasarkan dampak serangan OPT dan jumlah hama yang ada pada tanaman budidaya
sehingga pemakaian pestisida tidak terlaul banyak dan tidak terlalu merusak
lingkungan.
4.1.8 Kondisi Sosial Ekonomi Petani
Kondisi sosial
ekonomi petani di lahan pertanian tesebut biasa dikatakan cukup mampu atau tinggi,
karena petani ini tidak hanya memiliki satu lahan yang dikelolanya. Petani
memiliiki banyak lahan yang terpisah diantaranya ada yang ditanami tanaman tebu
dan padi. Hanya saja, dalam pemasarannya tingkat produksi tidak bias diperkirakan
tergantung pada jenis sayur-sayuran yang dipanen dan kondisi jual di pasar.
Cara penjualan pun bias dilakukan dengan penimbangan sebelumnya atau pun dengan
cara langsung di jual di lahan.
Harga yang dikisar sekitar Rp 2.000 - 2.500 per
kilogram dari 1 spet (1 ton) dengan total sekitarRp 150.000.Jika sedang merosot
juga pernah sampai hasil berkisar hanya Rp 700. Menurut perhitungna keuntungan
yang didapat petani dalam sekali produksi petani mengeluarkan modal untuk biaya
produksi, tenaga kerja dan lain-lain sebesar Rp. 2.200.000,- (hitungan
terlampir), denngan modal yang sebesar itu dalam sekali panen (40-45 hst)
petani apat menghasilkan total produksi bunga
kol sebesar ± 1ton (1000 kkg) dengan harga jual yang tergantung musim,
rata-rata berkisar antara Rp. 2000 – 2500 per kilogram dapat menghasilkan uang
sebanyak ± Rp. 3.000.000 – 3.750.000,- , tetapi bila harga komoditas menurun
(tergantung musim) maka hasil yang didapat sangat sedikit bahkan petani merugi.
Bila ketersediaan bunga kol dipasar melimpah maka harga per kilo buga kol
sangat rendah, dan sebaliknya bila ketersediaan bunga kol dipasar sedikit
harganya bias melmbung tinggi. Pernah harga perkilo bunga kol hhanya Rp.700
jadi total yang di dapat hanya Rp. 1.050.000,-
Rincian Biaya Produksi
Luas lahan = 600 m2
Jenis tanaman = Bunga kol
Benih = Rp.150.000,-
Pupuk = 6500
x 25 kg x 4 =
Rp.650.000,-
Pestisida = ± Rp. 200.000
Tenaga kerja = Rp.40.000 x 30 =
Rp.1.200.000,-
Total panen =
1500kg x 2000 = Rp. 3000.000,- (bila
harga jual per kg
Rp.2000)
= 1500 x 2500
= Rp.3.750.000,- (bila harga
jual per kg Rp. 2500)
= 1500 kg x 700
= Rp. 1.050.000,- (bila
harga jual per kg Rp. 700)
Jenis pestisida yang di gunakan :
Insektisida : Prevaton 50 SC
Fungisida :
Antracol 75 WP
Pupuk :
Pupuk kandang : kotoran ayam
Puupuk kimia : NPK
Mutiara ( 16:16:16)
Sistem Budidaya : monokultur dengan lahan
terasiring
Cara pengaplikasian Pestisida : di semprotkan dengan
Handsprayer semiautomatic
Cara pengaplikasian pupuk : Di cairkan dengan air,
dan ditaburkan di pangkal
batang
Dosis pemupukan : menyesuaikan umur (untuk 600 m2
= 25 kg)
4.2 Pembahasan
4.2.1 Penjelasan Kondisi Ekosistem
yang Di temukan (baik dari unsure biotik dan abiotik) (bandingkan dengan literature)
Pada lahan yang diamati yang bertempat di Desa
Talangwaru, Kecamatan Dau Kabupaten Malang kondisi ekosistemnya adalah berupa
kondisi ekosistem sawah yang di tanamai tanaman hortikultura. Ekosistem di
sawah tersebut terdiri dari tanaman yang dibudidayakan secara monokultur
(tanaman bunga kol), kondisi lahan dibentuk dengan terasiring karena kemiringan
lahan yang cukup tinggi sehingga lahan dibentuk berpetak-petak. Kondisi tanah di daerah tersebut bertekstur
dominan pasir dan debu. Unsur-unsur yang membentuk ekosistem tersebut terdiri
dari unsur biotik dan abiotik unsur-unsur biotik terdiri dari tanaman dan
hewan.
Tanaman yang terdapat di daerah tersebut antara lain
bunga kol, gulma, tanaman lain yang tumbuh disekitar petak sawah, dan
sebagainya. Sedangkan hewan-hewan yang terdapat disana antara lain hama-hama
tanaman, jamur, dan mikroorganisme dalam tanah.
Pada lahan terdapat berbagai jamur baik yang tumbuh
pada tanah, dan yang tumbuh menginfeksi tanaman budidaya. Jamur-jamur yang
tumbuh pada tanah dikarenakan pada tanah tersebut sebelum ditanami ditambahkan
bahan organik berupa kotoran terbak yang dicampur dengan tanah pada saat
pengolahan tanah.
Hal ini dapat memperbaiki sifat fisik, biologi, dan kimia tanah. Dengan
adanya penambahan bahan organik dalam tanah hal ini akan mengakibatkan
penambahan mikroorganisme tanah.
4.2.2 Analisis Penyebab Timbulnya Gejala Serangan OPT padalahan
Setelah dilakukan pengamatan pada lokasi lahan
budidaya di temukan berbagai hama dan penyakit yang menyerang tanaman bunga
kol. Hama yang umumnya menyerang bunga kol adalah ulat daun dan kepik. Ulat
daun dapat menyerang tanaman dalam berbagai fase pertumbuhan mulai dari
persemaian sampai panen. Hal ini dikarenakan kurangnya musuh alami yang
terdapat dalam lahan tersebut. Salah satu faktor penyebabnya adalah tipe
penanaman yang monokultur, dengan penanaman monokultur akan menambah populasi
hama yang sejenis karena ketersediaan makanan yang melimpah sehingga
mengakibatan peledakan hama. Penggunaan pestisida kimia juga mengakibatkan
penambahan populasi hama.
Penggunaan pestisida kimia memang dalam waktu seketika akan mematikan hama, tetapi hama
tersebut lama-kelamaan akan mengadaptasi zat aktif yang terdapat pada pestisida
sehingga pada suatu saat hama tersebut akan mengalami resitensi (pengenbalan
zat aktif pada tubuhnya) , dengan kebalnya tubuh hama pada zat kimia tersebut
maka pada pengaplikasian pestisida selanjutnya hama akan kebal dan akan
mengalami peledakan populasi hama (resurgensi).
4.2.3 Analisis Kendala Pengendalian OPT dan Budidaya Petani
Dalam membudidayakan tanaman yang perlu di perhitungan
sebelumnya adalah waktu tanam, komoditas tanaman yang dibudidayakan, dan teknik
budidaya yang benar. Teknik budidaya yang benar meliputi waktu tanam, jenis
komoditas, teknik pengolahan tanah, pemulsaan tanah, teknik penanaman, teknik
pengairan , pemupukan, penanggulangan OPT, penentuan waktu tanam, dan cara
pemanenan. Untuk teknik budidaya yang dilakukan pada lahan tempat penelitian
teknik penanamannya yang digunakan cukup benar. Penanaman tanaman bunga kol di
tanam dengan jarak tanam (50x50 cm) hal ini sesuai dengan petunjuk penanaman yang
di anjurkan literature.
4.2.4 Solusi Pengendalian
OPT yang Dapat Diterapkan di Lahan Observasi Berdasarkan Konsep PHT
Dilema yang dihadapi dalam usaha budidaya tanaman
saat ini adalah di satu sisi cara mengatasi masalah OPT adalah penggunaan
pestisida kimia sintetis yang dapat menekan kehilangan hasil akibat OPT, tetapi
menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Di sisi lain, tanpa pestisida kimia
sintetis akan relatif lambat bahkan sulit menekan kehilangan hasil akibat OPT.
Padahal tuntutan masyarakat dunia terhadap produk pertanian menjadi bertambah
tinggi terutama masyarakat negara maju, tidak jarang hasil produk pertanian
kita yang siap ekspor ditolak hanya karena tidak memenuhi syarat mutu maupun
kandungan residu pestisida yang melebihi ambang toleransi (Setyono, 2009 dan
Anonim, 2009 dalam Edi Gunawan, 2010 : Pengendalian OPT secara hayati yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan).
Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana
seringkali menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan
ekologis (mengakibatkan terjadinya resistensi hama sasaran, resurjensi hama,
terbunuhnya musuh alami) serta mengakibatkan peningkatan residu pada produk
pertanian. Oleh karena itu perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih
ramah lingkungan semakin besar untuk menurunkan penggunaan pestisida kimia
sintetis.
Pelaksanaan program PHT pada tahun 1980-an,
merupakan langkah yang sangat strategis dalam kerangka tuntutan masyarakat
dunia terhadap berbagai produk yang aman konsumsi, menjaga kelestarian
lingkungan, serta pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan yang
memberikan manfaat antar waktu dan antar generasl (Saptana at al., 2010 dalam
Edi Gunawan, 2010). Salah satu komponen pengendalian dalam sistem PHT yang
sesuai dan menunjang pertanian berkelanjutan adalah cara pengendalian hayati,
karena pengendalian ini lebih selektif (tidak merusak organism yang berguna dan
manusia) dan lebih berwawasan lingkungan. Pengendalian hayati berupaya
memanfaatkan pengendali hayati dan proses-proses alami. Cara pengendalian
seperti ini adalah salah satu cara yang dimaksud sebagai pengendalian OPT ramah
lingkungan dalam UU Hortikultura No 13/2010.
Penggunaan pestisida dalam PHT sesungguhnya bukanlah
cara pilihan utama namun bukan barang haram untuk dipilih sebagai cara
pengendalian. Akan tetapi apabila pestisida dipilih sebagai satu-satunya cara
pengendalian (setelah dinilai cara pengendalian lain tidak/ kurang berhasil
untuk mengendalikan OPT), maka penggunaannya haruslah dilakukan dengan
memperhatikan cara- cara yang bijaksana (baik dan benar) dan aman konsumsi
serta berdampak seminimal mungkin terhadap lingkungan dan organisme bukan
sasaran dan musuh alami.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
·
Sistem yang dipakai oleh
petani ialah system rotasi tanaman padalahan seluas 600m2 dengan
jarak tanam 40cmx50cm, dengan pergiliran tanaman hanya tergantung dari
permintaan pemanen. Pada musim hujan lebih sering menanam jenis sayur-sayuran
seperti bunga kol (varietas Bima, varietas Lola), karena para petani merasa
jika melakukan system polikultur kurang optimal hasilnya.
·
Teknik budidaya yang benar
meliputi waktu tanam, jenis komoditas, teknik pengolahan tanah, pemulsaan
tanah, teknik penanaman, teknik pengairan , pemupukan, penanggulangan OPT, penentuan waktu tanam, dan cara pemanenan. Untuk
teknik budidaya yang dilakukan pada lahan tempat penelitian teknik penanamannya
yang digunakan cukup benar. Penanaman tanaman bunga kol di tanam dengan jarak
tanam (50x50 cm) hal ini sesuai dengan petunjuk penanaman yang di anjurkan
literature.
·
Pengendalian OPT yang
dilakukan dibedakan kedalam berbagai macam cara :
a) Pengendalian secara mekanis atau fisik mencabut gulma secara langsung pada lahan pertanian, selain dengan memakai
herbisida pada pengendaliannya.
b) Pengendalian dengan pestisida sering melakukan pengendalian OPT berupa penyemprotan pestisida kimiaMengetahui jenis OPT yang
dominan menyerang pada tanaman bunga kol
5.2 Saran (rekomendasi untuk petani)
1. Sebaiknya dalam penggunaan pestisida harus
mengikuti petunjuk yang benar sehingga dapat
mengurangi dampak negatif kedepannya.
2. Kerja sama antara petani dan petugas penyukuh lapang lebih
ditingkatkan agar dikemudian hari hasil produksi lebih baik.
5.3 Kesan Selama Praktikum
1. Laporan membuat sebagian praktikan pusing karena
kita belum terbiasa dengan rutinitas
selama praktikum.
2. Selama praktikum menyenangkan karena asisten
mengajarnya secara dua arah dan bisa diajak sharing masalah pekuliahan.
3. Selama praktikum kita mendapat banyak ilmu baru
terutama tentang nama-nama latin hama
dan penyakit tanaman.
4. Banyak berkerja dilapang karena kita harus
mencari hama dan penyakit secara langsung
di ladang pertanian.
5.4 Saran danKesan (untuk asisten)
Saran: “seperti kata asisten klimatologi kami adalah
SANTAI”
Kesan: “Selalu memberi warna saat praktikum, sehingga
selalu memberikan kenangan disetiap praktikum”
DAFTAR PUSTAKA
Anonymousa, 2011.
http://www.wikipedia.com
Astuti,
Isti. 2006. Petunjuk Praktikum Perlindungan
Tanaman. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) jurusan penyuluhan
pertanian Magelang, Yogyakarta
Cahyono,
Bambang. 1995. Cara Meningkatkan Budidaya
Kubis. D), Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Oka,
Ida Nyoman. 1995. Pengendalian
Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
Soerianegara,
I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan
Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor