Rabu, 04 April 2012

Laporan Dasar Perlindungan Tanaman


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Makanan merupakan sumber kehidupan yang tidak bias lepas dari kehidupan manusia. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia senantiasa menggunakan berbagai macam cara untuk memenuhi hasil yang di inginkan. Sayur adalah salah satu diantara berbagai macam jenis sumber pangan yang digemari oleh masyarakat. Diantara berbagai macam sayuran bunga kol adalah salah satu tanaman hortikultura yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Kondisi lahan budidaya tidak bisa lepas dari komponen biotik maupun abiotik yang saling berhubungan. Komponen  biotik bisa berupa hewan, manusia dan tumbuhan, sedangkan komponen abiotik bisa berupa cahaya matahari, suhu, kelembaban, dll. Keseimbangan alam sangat tergantung pada keseimbangan komponen biotik dengan abiotiknya, semakin seimbang hubungan antara komponen biotik dengan abiotiknya maka kesimbangan alam akan semakin terjaga.
Tumbuhan merupakan komponen terpenting dalam hal ini karena tumbuhan merupakan suatu komoditas yang memang sengaja dibudidayakan untuk diambil hasilnya. Namun pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sangat dipengaruhi oleh dampak serangan hama dan penyakit tanamanKeadaan lingkungan suatu areal pertanaman sangat mendukung daya adaptasi dan perkembangan OPT bagi tanaman, bila keadaan lingkungan sesuai dengan hama dan penyakit tumbuhan maka akan menyebabkan terjadinya peledakan jumlah populasi.
Dalam menjalankan usaha  bidang pertanian, keberhasilan petani dalam mengolah tanaman sangat tergantung pada hasil produksi tanamannya. Hasil tanaman akan baik ketika tanaman itu mendapat asupan zat makanan dari faktor abiotik yang mencukupi. oleh karena itu usaha bidang pertanian tidak bisa lepas juga dari komponen abiotik yang sangat berpengaruh pada tanaman.
Dengan mengadakan studi lapang kita dapat mengetahui data tentang komponen abiotik dan biotik, mengetahui permasalahan yang sedang terjadi dilahan pertanian, mengetahui OPT yang menyebabkan penurunan produktifitas dan kuwantitas produk. Kemudian data tersebut diinterpretasikan, maka akan bisa apa saja faktor penyebab berkurangnya produktifitas tanaman, dan solusi pengendalian OPT yang sedang menyerang tanaman. Dan untuk bisa mengetahui perkembangan dan pertumbuhan tanaman, bisa dilakukan pengambilan data tentang komponen abiotik setiap hari



1.2. Tujuan
1.2.1.Tujuan Umum
·      Pembelajaran bagi mahasiswa tentang studi lapang
·      Mengetahui sistem budidaya yang dipakai petani dalam membudidayakan bunga kol
·      Dapat membandingkan antara cara budidaya petani dan cara yang dianjurkan diliteratur
·      Dapat mengetahui cara petani dalam mengendalikan OPT yang menyerang tanaman budidaya

1.2.2. Tujuan Khusus
·      Mengetahui system budidaya tanaman bunga kol di daerah setempat
·      Mengetahui permasalahan tentang hambatan dalam membudidayakan bunga kol
·      Mengetahui jenis OPT yang dominan menyerang pada tanaman bunga kol
·      Mengetahui cara penanggulangan petani dalam meminimaklan dampak serangan OPT dan cara pengendalian OPT.



1.3 Manfaat
·      Diharapkan data yang diperoleh dari hasil studi lapang bias dimanfaatkan sebagai salah satu tambahan ilmu yang berguna bagi semua pembaca
·      Membuat pembaca mengetahui apa saja permasalahan yang dihadapi petani dalam membudidayakan bunga kol
·      Diharapkan data yang diperoleh dari hasil studi lapang maka dapat meminimalisir kegagalan dalam usaha pertanian












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Pengertian PHT
PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agro-ekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sebagai sasaran teknologi PHT adalah :
1.   Produksi pertanian mantap tinggi,
2.   Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat,
3.   Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara ekonomi tidak merugikan dan
4.   Pengurangan resiko pencemaran Lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan.
Tiga komponen komponen dasar yang harus dibina, yaitu : Petani,Komoditi dasil pertanian dan wilayah pengembangan dimana kegiatan pertanian berlangsung, disamping pembinaan terhadap petani diarahkan sehingga menghasilkan peningkatan produksi serta pendapatan petani, pengembangan komoditi hasil pertanian benar-benar berfungsi sebagai sektor yang menghasilkan bahan pangan, bahan ekspor dan bahan baku industri, sedangkan pembinaan terhadap wilayah pertanian ditujukan agar dapat menunjang pembangunan wilayah seutuhnya dan tidak terjadi ketimpangan antar wilayah.
(Cahyono, Bambang. 1995.)

Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang berhubungan langsung dengan produksi dan permasalahan hasil pertanian maupun yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, selain merupakan uasaha bagi petani, pertanian sudah merupakan bagian dari kehidupannya sehingga tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek yang lainya juga merupakan peranan penting dalam tindakan-tindakan petani, dengan demikian dari segi ekonomi pertanian berhasil atau tidaknya produksi dan tingkat harga yang diterima oleh petani untuk hasil produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku dan kehidupan petani itu sendiri.
Sejalan dengan kemajuan teknologi maupun perkembangan struktur sosial, ekonomi dan budaya teknologi baru di pedesaan dapat membantu warga desa dalam meningkatkan usahataninya dalam arti memperbesar hasil, meningkatkan pengelolaan untuk mendapatkan atau nafkah dalam usahataninya tersebut atau dalam usahatani lainnya, sedangkan teknologiadalah merupakan pengetahuan untuk menggunakan daya cipta manusia dalam menggali sumber daya alam dan memanfatkanya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Tujuan Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
PHT adalah upaya yang terencana dan terkoordinasi untuk melembagakan penerapan prinsip-prinsip PHT oleh petani dalam usaha taninya serta memasyarakatkan pengertian-pengertian PHT dikalangan masyarakat umum dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
“Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dengan menggunakan salah satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalia yang dikembangkan dalam satu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan erusakan lingkungan hidup” .
Tujuan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah :
a.   Menjamin kemantapan swasembada pangan.
b.   Menumbuhkan Kreativitas, dinamika dan kepemimpinan petani.
c.   Terselenggaranya dukungan yang kuat atas upaya para petani dalam menyebarluaskan penerapan PHT sehingga dapat tercipta pemabngunan pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Usaha pokok Pengendalian Hama Terpadu (PHT):
1.   Mengembangkan sumberdaya manusia antara lain menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal bagi petani dengan pola Sekolah Lapangan PHT, dan pelatihan bagi petugas terkait yakni Pengamat Hama dan Penyakit (PHP), Penyuluh Pertanian dan Instansi terkait lainya.
2.   Mengadakan studi-studi lapangan dan penelitian yang memberikan dukungan atas strategi, pengembangan metode, dan penerapan PHT untuk tanaman padi dan palawija lainya.
3.   Memperkuat kebijaksanaan, pengaturan dan penyelenggaraan pengawasan terhadap pengadaan, pembuatan, peredaran serta pemakaian pestisida yang berwawasan lingkungan.
4.   Memasyarakatkan pengembangan konsep PHT di Indonesia.
(Oka, Ida Nyoman. 1995)


2.2.  Pengertian OPT
Organisme pengganggu tanaman (OPT) adalah semua organisme yang dapat menyebabkan penurunan potensi hasil yang secara langsung karena menimbulkan kerusakan fisik, gangguan fisiologi dan biokimia. Organisme tersebut aktifitasnya merusak, menggangggu, dan menyebabkan kerusakan atau kelainan fungsi fisiologis tubuh tumbuhan.
(Astuti Isti, 2006)

2.3.  PengertianEkosistem
Pengertian ekosistem pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli ekologi berkebangsaan Inggris bernama A.G. Tansley pada tahun 1935, walaupun konsep itu bukan merupakan konsep yang baru. Sebelum akhir tahun 1800-an, pernyataan-pernyataan resmi tentang istilah dan konsep yang berkaitan dengan ekosistem mulai terbit cukup menarik dalam literatur-literatur ekologi di Amerika, Eropa, dan Rusia.
(Astuti Isti, 2006)
Ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 1983). Tingkatan organisasi ini dikatakan sebagai suatu sistem karena memiliki komponen-komponen dengan fungsi berbeda yang terkoordinasi secara baik sehingga masing-masing komponen terjadi hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik terwujudkan dalam rantai makanan dan jaring makanan yang pada stiap proses ini terjadi aliran energi dan siklus materi.
(Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988.)



2.4.  Komponen PHT
Manajemen hama terpadu ( PHT) adalah berbasis ilmu pengetahuan, pendekatan akal sehat untuk mengelola serangga, hewan pengerat, atau vektor lainnya. PHT menggunakan berbagai teknik pengelolaan hama yang berfokus pada pencegahan hama, pengurangan hama, dan penghapusan kondisi yang mengarah pada infestasi hama. PHT mengelola hama dan vektor penyakit dengan mengelola lingkungan untuk menghilangkan makanan, air, dan tempat berlindung.
Program PHT juga sangat bergantung pada pendidikan warga dan pemantauan hama. Untuk PHT untuk sukses, spesialis kesehatan lingkungan harus memperhitungkan perilaku dan ekologi dari hama target, lingkungan di mana ia aktif, perubahan yang terjadi dalam lingkungan, dan kegiatan orang-orang yang berbagi lingkungan. Sebuah pendekatan PHT terbaik bila digunakan dengan teknik yang secara aktif melibatkan warga dalam mengatasi masalah yang mungkin berkontribusi terhadap infestasi hama, seperti perawatan rumah, sanitasi, dan rumah.
(Astuti Isti, 2006)

Komponen PHT
     Meskipun PHT mencakup beberapa teknik pengendalian hama standar, empat komponen PHT jelas terpisah dari yang khas pengendalian hama praktek-praktek yang hanya mengandalkan perangkap dan keracunan. Keempat komponen itu yaitu:
a.   Inspeksi
Pemeriksaan area indoor dan outdoor untuk mengidentifikasi apa, di mana, dan mengapa hama yang aktif. Sebuah inspeksi yang dilakukan pada awal dari program PHT; inspeksi ringan terjadi sepanjang program PHT.
b.   Pemantauan
Verifikasi kehadiran atau tidak adanya hama. Pemantauan meliputi pengamatan langsung dari hama; pengamatan langsung dari kotoran hama, noda, kerusakan, dll, dan koleksi hama dalam perangkap.
c.   Pengobatan
Tindakan korektif atau intervensi untuk mengurangi jumlah hama. Pendidikan untuk mengubah perilaku masyarakat adalah bagian paling penting dari program PHT yang efektif. Membersihkan, sanitasi, dan menjaga hama keluar yang efektif dalam jangka panjang.
d.   Evaluasi
Tindak lanjut untuk menentukan apakah pengobatan yang berhasil dan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Evaluasi adalah salah satu komponen paling penting dari rencana PHT.

PHT adalah, sistem yang komprehensif berbasis pendekatan pengelolaan hama dengan tujuan menyediakan obat paling aman, paling efektif, paling ekonomis, dan berkelanjutan untuk infestasi hama. PHT mengurangi risiko dari hama sementara juga mengurangi resiko dari penggunaan berlebihan atau penggunaan yang tidak tepat produk kimia berbahaya pengendalian hama.
(Oka, Ida Nyoman. 1995)




2.5.  Komponen Ekosistem
Komponen penyusun ekosistem terdiri atas dua macam, yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik adalah komponen yang terdiri atas makhluk hidup, sedangkan komponen abiotik adalah komponen yang terdiri atas benda mati. Seluruh komponen biotik dalam suatu ekosistem membentuk komunitas. Dengan demikian, ekosistem dapat diartikan sebagai kesatuan antara komunitas dengan lingkungan abiotiknya.
1.   Komponen Biotik
a)   Berdasarkan caranya memperoleh makanan.
Di dalam ekosistem, organisme anggota komponen biotik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
Produsen, yang berarti penghasil. Produsen merupakan organisme yang mampu menghasilkan zat makanan sendiri (autotrof) melalui fotosintesis. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah tumbuhan hijau atau tumbuhan yang mempunyai klorofil. Produsen ini kemudian dimanfaatkan oleh organisme-organisme yang tidak bisa menghasilkan makanan (heterotrof) yang berperan sebagai konsumen.
b)  Konsumen, yang berarti pemakai, yaitu organisme yang tidak dapat menghasilkan zat makanan sendiri tetapi menggunakan zat makanan yang dibuat oleh organisme lain. Organisme yang secara langsung mengambil zat makanan dari tumbuhan hijau adalah herbivora. Oleh karena itu, herbivora sering disebut konsumen tingkat pertama. Karnivora yang mendapatkann makanan dengan memangsa herbivora disebut konsumen tingkat kedua. Karnivora yang memangsa konsumen tingkat kedua disebut konsumen tingkat ketiga dan seterusnya. Proses makan dan dimakan di dalam ekosistem akan membentuk rantai makanan. Perhatikan contoh sebuah rantai makanan ini: daun berwarna hijau (Produsen) –> ulat (Konsumen I) –> ayam (Konsumen II) –> musang (Konsumen III) –> macan (Konsumen IV/Puncak).
Dalam ekosistem, banyak proses rantai makanan yang terjadi sehingga membentuk jaring-jaring makanan (food web) yang merupakan kumpulan dari beberapa rantai makanan.
c)  Dekomposer atau pengurai. Dekomposer adalah jasad renik yang berperan menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme yang telah mati ataupun hasil pembuangan sisa pencernaan. Dengan adanya organisme pengurai, organisme akan terurai dan meresap ke dalam tanah menjadi unsur hara yang kemudian diserap oleh tumbuhan (produsen). Selain itu aktivitas pengurai juga akan menghasilkan gas karbon dioksida yang akan dipakai dalam proses fotositesis.
(Astuti Isti, 2006)
2.   Komponen Abiotik
Komponen abiotik merupakan komponen tak hidup dalam suatu ekosistem. Komponen abiotik sangat menentukan jenis makhluk hidup yang menghuni suatu lingkungan. Komponen abiotik banyak ragamnya, antara lain: tanah, air, udara, suhu, dan lain-lain.
a. Suhu
Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat hidup pada kisaran suhu tertentu.

b. Sinar matahari
Sinar matahari mempengaruhi ekosistem secara global karena matahari menentukan suhu. Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tumbuhan sebagai produsen untuk berfotosintesis.

c. Air
Air berpengaruh terhadap ekosistem karena air dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme. Bagi tumbuhan, air diperlukan dalam pertumbuhan, perkecambahan, dan penyebaran biji; bagi hewan dan manusia, air diperlukan sebagai air minum dan sarana hidup lain, misalnya transportasi bagi manusia, dan tempat hidup bagi ikan. Bagi unsur abiotik lain, misalnya tanah dan batuan, air diperlukan sebagai pelarut dan pelapuk.

d. Tanah
Tanah merupakan tempat hidup bagi organisme. Jenis tanah yang berbeda menyebabkan organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. . Tanah juga menyediakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme, terutama tumbuhan.

e. Angin
Angin selain berperan dalam menentukan kelembapan juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan tertentu.

f. Garis lintang
Garis lintang yang berbeda menunjukkan kondisi lingkungan yang berbeda pula. Garis lintang secara tak langsung menyebabkan perbedaan distribusi organisme di permukaan bumi. Ada organisme yang mampu hidup pada garis lintang tertentu saja.
(Cahyono, Bambang. 1995)

2.6.  Peran  PHT  dalam Ekosistem Pertanian
PHT sangat berperan dalam berbagai hal dan menguntungkan dalam banyak hal. Salah satu peran PHT dalam pertanian adalah dalam menjaga tatanan atau keseimbangan ekosistem dalam lingkungan. Dan peran PHT tersebut mencakup tujuan dari pertanian berlanjut. Konsep pertanian berkelanjutan muncul akibat implementasi pertanian modern yang menurunkan kualitas sumber daya alam. Pertanian modern dengan input tinggi mampu meningkatkan hasil tanaman, namun di sisi lain menimbulkan kerusakan lingkungan yang untuk memperbaikinya diperlukan biaya yang besar. Kerusakan lingkungan antara lain terlihat dari hilangnya permukaan tanah, pencemaran air, hilangnya biodiversitas, ketergantungan pada sumber daya yang tidak dapat diperbarui, meningkatnya biaya produksi dan jatuhnya harga hasil pertanian, menurunnya komunitas desa, dan makin banyaknya petani. Di Jalur Pantura, misalnya, telah terjadi pengurangan biodiversitas serangga hama karena hilangnya serangga Thaia oryzicola dan Recilia dorsalis.
(Oka, Ida Nyoman. 1995)
Hal ini akan mempengaruhi atau mengubah rantai makanan hama yang dikhawatirkan berpotensi merusak tanaman budi daya.
Pertanian berlanjut mengoptimalkan mengoptimalkan cara pengendalian hama tanpa merusak ekosistem dalm lingkungan dan hal ini mencakup dalam tujuan PHT. Jadi untuk mencapai suatu kesuksesan dalam pertanian perlu adanya PHT untuk tetap menjaga keseimbangan ekosistem dalam lingkungan/lahan pertanian. 
(Oka, Ida Nyoman. 1995)

2.7.  Faktor Penyebab Timbulnya Peledakan Hama dan Penyakit
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi ledakan populasi suatu hama tanaman. Faktor pertama adalah kondisi cuaca yang menguntungkan. Cuaca dan iklim memiliki pengaruh langsung terhadap laju pertumbuhan dan kematian suatu jenis serangga.
Pada kondisi yang menguntungkan, laju perkembangan tinggi dan kematian rendah. Inilah yang terjadi untuk serangan hama ulat bulu saat ini. Sepanjang tahun 2010 yang lalu kondisi cuaca sangat menguntungkan bagi perkembangan telur, yang mencapai puncak perkembangan menjadi ulat pada bulan April 2011 ini.
Pengaruh secara tidak langsung adalah pertumbuhan tanaman karena kondisi cuacanya baik. Tanaman juga tumbuh dalam kondisi yang subur, sehingga menjadi tempat yang nyaman untuk perkembangbiakan hama. Juga terdapat pengaruh tidak langsung dari cuaca/iklim, yaitu perbedaan respons.
Bila kondisi cuaca/iklim menguntungkan bagi pertumbuhan hama dibanding  musuh alaminya, laju pertumbuhan hama akan meningkat. Sebaliknya, bila kondisi lebih menguntungkan untuk musuh alami, pertumbuhan hama akan terhambat.
Faktor kedua adalah budi daya yang intensif dan monokultur.
Budi daya yang intensif  menjadikan lahan pertanian jenuh pemakaian dan monokultur mengakibatkan suatu spesies tanaman tumbuh pada areal yang luas. Dampaknya sangat menguntungkan bagi pertumbuhan hama tanaman tersebut.
Saat lahan pertanian dibudidayakan secara intensif, hama tanaman secara terus-menerus mendapat tempat yang menguntungkan, baik dari aspek suplai makanan maupun lingkungan tumbuhnya dan musuh alaminya tidak ada.
Dalam sistem monokultur, tanaman tertentu  secara khusus dibudidayakan dengan perawatan yang optimal dengan seluruh usaha tani, agar diperoleh hasil maksimal. Kondisi ini menjadikan tempat yang nyaman untuk perkembangan hama.
Pada lahan yang dibudidayakan secara multikultur, individu tanaman dari setiap spesies hidup hanya sedikit dan tersebar.  Hama yang datang untuk suatu jenis tanaman akan kesulitan untuk mencari tempat yang cocok berkembang biak. Ini karena satu tanaman yang sama terletak saling berjauhan dan tidak nyaman untuk hama tersebut. Dalam situasi seperti ini, hama tanaman tidak akan berkembang dengan baik.
Faktor selajutnya adalah musnahnya lingkungan alami. Kegiatan ekstensifikasi pertanian dan aktivitas pembangunan sektor lainnya dapat menghilangkan areal alami seperti hutan yang merupakan habitat alami serangga beserta musuhnya. Ketika areal alami tersebut dibuka, serangga akan pindah ke tempat lain.
Sementara itu, faktor keempat adalah masuknya hama dan penyakit tanaman. Material tanaman, termasuk hama dan penyakitnya, yang terbawa dari luar wilayah teritorial dapat saja terjadi. Hama yang baru ini masuk bila lingkungannya lebih menguntungkan dibanding tempat  asalnya. Hama tersebut akhirnya dapat menjadi hama yang baru dan tumbuh dengan pesat.
Penggunaan insektisida merupakan faktor lain terjadinya ledakan hama. Pemakaian insektisida yang intensif untuk memusnahkan hama tanaman tertentu dapat mengakibatkan musuh alami dari hama tersebut turut terbunuh. Dengan hilangnya musuh alami, kemampuan hidupnya menjadi lebih tinggi hingga mencapai tingkat epidemik.
Penggunaan insektisida yang tidak pandang bulu juga dapat mengakibatkan resistensi hama. Hal ini terjadi sebagai akibat  terbunuhnya genotipe yang mudah terkena penyakit dan melahirkan genotipe yang lebih tahan pestisida. Setelah beberapa tahun penggunaan pestisida yang sama (karena tanamannya monokultur), hama tersebut akan benar-benar tahan terhadap obat. Dengan kondisi cuaca yang menguntungkan, maka akan terjadi ledakan hama.
(Oka, Ida Nyoman. 1995)

2.8.  MetodePengendalian OPT
2.8.1. Pengendalian Secara Kultur Teknik
Pengendalian tersebut merupakan pengendalian yang bersifat preventif, dilakukan sebelum serangan hama terjadi dengan tujuan agar populasi OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) tidak meningkat sampai melebihi ambang kendalinya.
Menurut Pedigo (1996) dalam Untung (2006) sebagian besar teknik pengendalian secara budidaya dapat dikelompokan menjadi empat dengan sasaran yang akan dicapai, yaitu 1) mengurangi kesesuaian ekosistem, 2) Mengganggu kontinuitas penyediaan keperluan hidup OPT, 3) Mengalihkan populasi OPT menjauhi tanaman,dan 4) Mengurangi dampak kerusakan tanaman.

Beberapa contoh dari pengendalian OPT secara kultur teknis:
a. Menggunakan varietas domestik yang tahan: karakteristik dari varietas domestik adalah memiliki ketahanan yang lebih baik karena cocok terhadap lingkungannya.

b. Rotasi Tanaman: pergiliran atau rotasi tanaman yang baik adalah bila jenis tanaman yang ditanam pada musim berikutnya, dan jenis tanaman tersebut bukan merupakan inang hama yang menyerang tanaman yang ditanam pada musim sebelumnya. Dengan pemutusan ketersediaan inang pada musim berikutnya populasi hama yang sudah meningkat pada musim sebelumnya dapat ditekan pada musim berikutnya. Rotasi tanaman paling efektif untuk mengendalikan hama yang memiliki kisaran makanan sempit dan kemampuan migrasi terbatas terutama pada fase yang aktif makan.
Contoh rotasi tanamn misalnya (Untung, 2006):
Pergiliran tanaman antara kedelai antara tanaman bukan kacang-kacangan dapat mengendalikan hama-hama penting seperti lalat bibit kacang (Agromyza phaseoli), kutu kedelai (Bemicia tabaci).

c. Menghilangkan tanaman yang rusak. Tanamn yang terkena serangan hama maupun patogen sebaiknya dibersihkan dari kawasan budidaya.

d. Pengolahan Tanah: pengerjaan tanah dapat dimanfaatkan untuk pengendalian instar hama yang berada dalam tanah. Misal: Pengolahan tanah sangat efektif untuk membunuh telur belalang kembara (Locusta migratoria) yang selalu diletakan di dalam tanah. Hama akar seperti lundi (Holotricia helleri) mempunyai fase larva dan pupa di dalam tanah, sehingga pengolahan tanah dapat mengangkat pupa dan memutus siklus perkembangannya.

e. Tumpang Sari dan variasi penanamn serta pemanenan: tumpang sari dapat mengendalikan suatu opt akibat keberadaan tanaman yang bukan inangnya. Sedangkan variasi waktu panen akan memutuskan siklus hidup hama. Misalnya: Tumpang sari antara kentang dan bawang daun, tagetes ataupun lobak relatif dapat menekan populasi hama penting tanaman kentang.

f. Pemangkasan dan Penjarangan: kegiatan pemangkasan terkait dengan kebersihan tanaman. Sedangkan penjarangan terkait dengan jarak tanam optimum suatu tanaman.
Pemangkasan pada beberapa tanaman terutama bagian yang terkena infeksi sehingga tidak menyebar ke bagian tanaman yang lain.
Penjarangan tanaman dapat meningkatkan produktifitas. Jarak tanam dapat pula mempengaruhi populasi hama. Pada tanaman padi, jarak yang terlalu dekat menguntungkan perkembangan dan kehidupan wereng coklat.

g. Pemupukan: tindakan pemupukan juga dapat mempengaruhi keberadaan OPT. beberapa pengeruh pemupukan terhadap serangan OPT antara lain: Optimalisasi pemupukan N dapat mengurangi serangan OPT karena pemupukan N yang berlebihan akan menjadikan tanaman sukulen dan mudah terserang OPT. Pemberian pupuk mikro dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan OPT.
(Cahyono, Bambang. 1995)
2.8.2.   Pengendalian Secara Hayati (Biological Methods)
Merupakan taktik pengelolaan hama yang dilakukan secara sengaja memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk menurunkan atau mengendalikan populasi hama.
Musuh alami yang berupa parasitoid, predator dan patogen dikenal sebagai fator pengatur dan pengendali populasi serangga yang efektif karena sifat pengaturannya yang tergantung kepadatan populasi inang atau mangsa. Peningkatan populasi inang akan ditanggapi secara numerik (respon numerik) dengan meningkatkan jumlah predator dan secara fungsional (respon fungsional) dengan meningkatkan daya makan per musuh alami. Beberapa tindakan antara lain:
a.  Pengendalian hayati dengan parasitoid dan predator. Misalnya: mengendalikan hama tikus dengan memelihara burung hantu disekitar areal tanaman. Dengan menggunakan mikroorganisme antagonis seperti Tricodherma sp.

b.  Introduksi, perbanyakan dan penyebaran musuh alami, Misalnya: Introduksi kumbang vedalia (Rodolia cardinalis) dari Australia ke California untuk mengendalikan hama kutu perisai (Icerya purchasi) yang menyerang jeruk. Introduksi parasitoid Tetrasitichus brontisapae dari Jawa ke Sulawesi dapat berhasil menekan populasi hama kelapa Brontispa longissima.

c.  perlindungan dan dorongan musuh alami. Misalnya: Campsomeris sp menyerang uret. Tricodherma sp menyerang telur penggerek batang tebu.
(Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988)

2.8.3. Pengendalian Secara Mekanis dan Fisik.
Mengendalikan menggunakan tindakan-tindakan antara lain 1) Mematikan hama, 2) Mengganggu aktivitas fisiologis hama yang normal dengan cara non-pestisida, 3) mengubah lingkungan sedemikian rupa sehingga lingkungan menjadi kurang sesuai bagi kehidupan OPT. Beberapa tindakan tersebut yaitu:
a.  Penghancuran dengan tangan. Cara ini dailkukan dengan mencari adanya hama dan selanjutnya dilakukan pemusnahan. Fase hidup hama yang dikumpulkan dan dibunuh adalah yang mudah dtemukan seperti telur dan larva. Atau dapat pula mengumpulkan bagian tanaman yang terserang hama. Misal: pengumpulan kelompok telur dan larva instar ke-3 untuk pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura). Pengendalian hama penggerak batang tebu (Schiropophaga nivella) adalah dengan memotong dan mengumpulkan pucuk tanaman tebu yang terserang.

b.  Menutup dengan jaring atau paranet. Dapat dilakukan untuk mencegah masuknya atau mengganggunya ngengat yang akan berkembang biak pada tanaman.

c. Perangkap. Menggunakan alat perangkap yang disesuaikan berdasarkan jenis hama dan fase hama yang akan ditangkap. Misal: Kepiting mati yang diletakan di sekeliling pertanaman padi mampi menekan populasi walang sangit. Bau busk yang ditimbulkan kepiting mati dapat menjadi penarik bagi walang sangit. Dan apa bila sudah terkumpul, walang sangit dapat segera dimusnahkan. Gadung atau jagung dapat dijadikan umpan untuk mengendalikan tikus. Tikus juga dapat diperangkap dengan perangkap yang terbuat dari besi maupun bambu.


d.  Perlakuan panas. Faktor suhu dapat mempengaruhi penyebaran, frekuenditas, kecepatan perkembangan, lama hidup dan mortalitas hama. Setiap perubahan faktor fisik mempengaruhi berbagai parameter kehidupan tersebut. Misal: mengendalikan hama uret dengan membalikan tanah. Telur yang terdapat didalam tanah akan terangkat ke permukaan dan akan terkena sinar matahari secara terus menerus yang menyebabkan tempeeratur dan kelembaban berbeda dengan keadaan semula. Hal ini mengakibatkan telur tidak menetas. Pengendalian hama gudang dapat dilakukan dengan memanaskan gudang dengan pemanas pada kisaran suhu tertentu.

e.  Penggunaan lampu perangkap. Dipengaruhi oleh adanya daya tarik serangga terhadap cahaya lampu fungsi utama lampu ini hanya menarik perhatrian serangga yang selanjutnya ketika sudah terkumpul dapat dikendalikan dengan ditangkap. Misal: pengendalian wereng hijau. Lampu petromaks dapat dijadikan perangkap penggerak batang padi putih.

f. Suara. Penggunaan gelombang suara. Secara teoritik ada tiga metode pengendalian menggunakan suara. 1) penggunaan intensitas suara yangs angat tinggi sehingga dapat merusak serangga, 2) Penggunaan suara lemah guna mengusir serangga, dan 3) Merekam dan memperdengarkan suara yang diproduksikan serangga guna mengganggu parilaku serangga sasaran. Misal: Penggunaan gelombang elektromagnetik untuk mengurangi populasi hama burung yang menyerang tanamn bebijian.
  (Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988)

2.8.4. Pengendalian Secara Kimiawi
Pengendalian dengan cara ini merupakan pengendalian yang biasanya dilakukan sebagai alternatif terakhir. Karena kebanyakan masing menggunakan bahan kimia sintetik yang membahayakan. Akan tetapi pada dasarnya penggunaan bahan kimia untuk pengendalian OPT tidak serta merta membasmi keseluruhan opt dengan membunuhnya. Bahan kimia yang banyak dikenal untuk melakukan pemberantasan hama adalah pestisida. Di bidang pertanian penggunhaan pestisida mampu menekan kehilangan hasil tanaman akibat serangan hama dan penyakit yang memungkinkan peningkatan produksi pertanian dapat dicapai. Beberapa kelompok pada pembahasan ini antara lain:
a.  Atraktan Merupakan senyawa yang berfungsi menarik serangga pada lokasi yang mengandung zat tersebut. Misalnya: minyak sereh wangi (Andropogon nardus) bersifat atraktan terhadap lalat buah baik jantan maupun betina. Hasil penelitian Guntur (2010) menunjukkan bahwa atraktan nabati ekstrak selasih dan ekstrak daun wangi mampu memerangkap hama lalat buah jantan.

b.  Repelen Merupakan senyawa penolak hama atau pengusir hama dari objek yang mempunyai senyawa tersebut. Misalnya:Menggunakan bagian tanaman suren terbukti merupakan repellant (pengusir atau penolak) serangga, termasuk nyamuk. Daun dan kulit kayunya beraroma cukup tajam. Secara tradisional, petani menggunakan daun suren untuk menghalau hama serangga tanaman dan dapat digunakan dalam keadaan hidup.
Beberapa minyak atsiri yang umum dipakai sebagai penolak serangga (insect repellent) diantaranya berasal dari bunga lavender, eucaliptus, kulit jeruk,

c.  Insektisida Merupakan senyawa yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman jenis insekta atau serangga. Misalnya: Daun Azadirachta indica dapat mengendalikan Plutella xylostela pada kubis.

d.  Sterilan merupakan senyawa yang digunakanuntuk mensterilkan suatu ruang dari organisme misalkan sterilan tanah artinya mensterilkan tanah dari keberadaan organisme.

e.  Growth Inhibitor Merupakan senyawa yang difungsikan untuk menghambat pertumbuhan serangga. Dalam istilah lain disebutkan dengan IGR yaitu Insect Growth regulator. Merupakan senyawa yang dapat merubah atau mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan serangga. IGR pada hakikatnya menggunakan aktivitas normal endokrin serangga. Pengaruh IGR tersebut dapat terjadi pada waktu perkembangan embrionik, perkembangan larva atau nimfa, metamorfosis, proses reproduksi, ataupun perilaku diapause. Beberapa kelompok IGR antar lain: GR penghambat khitin yaitu buprofezin pernah diaplikasikan untuk mengendalikan hama wereng coklat di Indonesia.
(Astuti Isti, 2006)

2.8.5. Pengendalian Secara Genetik
Pengendalian ini lebih ditujukan terhadap usaha-usaha rekayasa genetik untuk menciptakan tanaman yang tahan terhadap serangan OPT tertentu ataupun dengan memanipulasi genetik OPT sehingga opt tersebut tidak dapat berkembang biak. Beberapa tindakan yang termasuk kedalam pembahasan bab ini adalah:
a.  Penggunaan varietas tahan. Merupakan pengendalian paling efektif, murah dan kurang berbahaya bagi lingkungan. Varietas tahan diperoleh melalui serangkaian penelitian dengan memecahkan kelemahan dari hama tertentu. Teknik pengembangan tanaman tahan hama sengaja memanfaatkan proses pembentukan sifat ketahanan dan perlawanan tanaman terhadap serangan serangga herbivora yang terjadi secara koevolusioner di alam. Beberapa contoh pengendalian ini adalah: penggunaan Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW) terbukti mampu mengendalikan haam wereng coklat padi di Indonesia. Salah satu varietas jagung yang mengandung 2,4-hydroxy-7-methoxy-2H-1,4-benxoaxazin-3(4H)-one (DIMBOA) pada jagung untuk memperoleh ketahanan terhadap penggerek batang jagung Ostrinia.

b.  Pengendalian Dengan Serangga Mandul. Disebut juga teknik otosidal merupakan teknik pengendalian hama dengan pemab\ndulan serangga jantan, serangga betina atau keduanya. Serangga mandul sudah mulai banyak diupayakan katrena efektifitasnya mengurangi populasi serangga tersebut. Misalnya dengan melepas jantan atau betina mandul, maka ketika terjadi perkawinan, tidak lah terbentuk keturunan dan dalam jangka waktu tertentu akan sangat mengurangi populasi hama tersebut. Beberapa contoh pengendalian dengan pemandulan hama: Teknik pelepasan jantan mandul secara besar-besaran pernah dilakukan di Florida, Puerto Rico dan Amerika Selatan untuk pengendalian “screwworm” Cochliomyia hominivorax yaitu lalat ayang menyerang ternak. Dapat pula dipadukan dengan teknik pengendalian hayati, yaitu pelepasan telur Habrobracon hebetor lebih efektif mengendalikan hama Ephestia cautella bila jenis jantan dimandulkan terlebih dahulu.
(Astuti Isti, 2006)


2.8.6.   Pengendalian Menggunakan Regulasi Atau Tata Peraturan.
Salah satu alternatif pengendalian OPT adalah dengan menggunakan peraturan yang telah diterapkan pemerintah setempat. Peraturan-peraturan yang telah dibuat pada dasarnya ditujukan untuk mempersempit penyebaran OPT ke daeerah lain maupun mengatur tindakan-tindakan yang sekiranya dapat menimbulkan adanya serangan OPT. Beberapa tindkan pengendalian menggubnakan regulasi diantaranya:

a.  Karantina Tanaman Dan Binatang. Dengan adanya tata aturan mengenai karantina yaitu suatu tindakan isolasi terhadap suatu barang dalam hal ini adalah tanaman dan binatang sebelum di manfaatkan secara luas di suatu wilayah, maka penyebaran OPT yang adpat disebabkan dari luar adaerah dapat dihindari. Dasar hukum pelaksanaan karantina adalah UU No 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Beberapa contoh pengaruh karantina terhadap pencegahan penyebaran adalah: Pemberian kategori Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) seprti OPTK golongan 1 kategori A1 yaitu Corynebacterium flaccumfaciens, bakteri yang menyerang benih kedelai yang masih beredar di USA. Klasifikasi OPTP (Organisme Pengganggu Tumbuhan Penting) misalnya pada kasus OPTP penting adalah penyakit rebah kecambah (Phytium sp.),penyakit Tilletia caries pada gandung yang sering terbawa oleh benih.

b.  Program Pemberantasan dan Penekanan. Bebrapa tindakan pemberantasan dan penekanan terhadap perkembangan OPT telah dilakukan antara lain: Mengganti tanaman Kopi Arabika yang notabene lebih enak akan tetapi mudah terserang Hemilia vastatrix dengan Kopi robusta. Pemusnahan dengan membakar, menghancurkan maupun mengubur OPT maupun bagian yang terserang untuk menghindari penyebaran.
(Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988)


2.9.     Konsep Ambang Ekonomi Konsep Aras Luka Ekonomi
Konsep aras luka ekonomi untuk pertama kalinya dikemukan oleh ahli entomologi. Dalam konsep aras luka ekonomi terdapat 3 komponen/element utama yaitu kerusakan ekonomi, aras luka ekonomi, dan ambang ekonomi.

a. Kerusakan ekonomi.
Kerusakan ekonomi merupakan komponen dasar dari konsep aras luka ekonomi. menurut Stern et all. Kerusakan ekonomi adalah jumlah atau tingkat kerusakan yang dapat kita gunakan ssebagai dasar untuk mengeluarkan biaya melakukan tindakan pengendalian. Kerusakan ekonomi ini dimulai pada saat besarnya kerugian akibat kerusakan sama dengan biaya pengendalian yang dikeluarkan.
            Dalam memahami kerusakan ekonomi ini, kita harus bisa membedakan pengertian antara luka (injury) dan kerusakan (damage). Luka lebih diartikan pada efek keberadaan penyakit pada tanaman inangnya (misal menyebabkan bercak, layu, dll), sedangkan kerusakan lebih pada pengukuran (lebih pada dampak ekonomi) efek keberadaan penyakit pada tanaman inangnya (misal menurunkan hasil dan kualitas).
Penentuan kerusakan ekonomi ini sangat penting, karena petani dapat menentukan kapan tindakan pengendalian harus dilakukan, sehingga kerugian akibat penyakit dapat diminimalkan. Konsep kerusakan ekonomi ini akan berdampak pada besarnya hasil yang akan diperoleh petani dari usaha pengendalian yang dilakukannya. Besarnya nilai yang dapat diselamatkan dari tindakan pengendalian atau yang biasa disebut ambang perolehan dapat dihitung dengan rumus
            Perhitungan seperti diatas diharapkan petani dapat menentukan kapan tindakan pengendalian harus dilakukan agar biaya pengendalian yang dikeluarkan tidak melebihi niali kehilangan hasil akibat penyakit yang dapat diselamatkan.

b. Aras Luka Ekonomi (Ambang Kerusakan).
Tujuan akhir dari tindakan pengendalian penyakit adalah untuk menekan penyakit pada level yang tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi baik pada jumlah maupun kulitas hasil, dengan demikian ambang kerusakan (tingkat kerusakan ekonomi) haruslah diketahui untuk mencegah kerugian yang lebih besar akibat adanya penyakit. Tingkat/level xt tertinggi yang dapat menimbulkan kerusakan ekonomi disebut juga dengan aras luka ekonomi atau dalam entomologi “jumlah kepadatan populasi terendah yang dapat menyebabkan kerusakan secara ekonomi”. Secara matematika pengukuran ALE dapat modelkan sebagai berikut

c. Ambang ekonomi (ambang tindakan).
Selain berdasarkan pada nilai ALE pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan pengendalian adalah menggunakan ambang ekonomi (AE). Ambang ekonomi adalah suatu tingkat/level kerusakan penyakit (keparahan penyakit) yang mengharuskan dilakukan pengendalian sehingga penyakit tidak berkembang mencapai ALE. Dengan kata lain AE adalah ambang tindakan (action threshold). Nilai AE lebih rendah dari ALE, sehingga petani mempunyai kesempatan melakukan tindakan pengendalian untuk mencegah berkembangnya penyakit mencapai/melebihi ALE. Dengan demikian diharapkan tindakan pengendalian yang dilakukan selain menekan penyakit (keparahan penyakit) mencapai level yang dapat menimbulkan kerusakan ekonomi, juga diharapkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pengendalian lebih rendah (setidaknya sama dengan) nilai kehilangan hasil yang dapat diselamatkan oleh tindakan pengendalian tersebut.
Model perkembangan penyakit, baik monosiklik dan polisiklik r (R) adalah laju perkembangan penyakit, dimana nilainya bervariasi bergantung pada virulensi patogen, ketahanan tanaman inang, dan lingkungan yang mendukung. Jika xo, r dan ambang kerusakan telah diketahui, maka dapat diprediksikan kapan penyakit akan mencapai/melebihi nilai ambang kerusakan, sehingga petani harus tahu kapan harus melukan tindakan pengendalian (pada waktu yang tepat).
Nilai AE ini bukanlah nilai yang konstan (statik) tetapi bervariasi bergantung pada ALE (ketahan tanaman), fase pertumbuhan tanaman pada saat patogen menginfeksi tanaman, keadaan iklim, geografi daerah, dan system budidaya.
(Astuti Isti, 2006)






BAB III
METODOLOGI


3.1 Waktu dan Tempat

Pelaksanaan fieldwork Dasar Perlidungan Tanaman tentang studi lapang di lahan pertanian hortikultura dilaksanakan pada pukul 08.00 – 11.00 WIB hari Senin tanggal 18 Desember 2011,yang bertempat  di Desa Tegalwaru Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Pelaksanaan diikuti oleh dua kelompok yang terbagi menjadi 2 studi lapang yaitu komoditas tanaman pangan dan hortikultura.





3.2 Metode Kerja


















Melakukan identifikasi pada lahan budidaya hortikultura
 









Pengambilan dokumentasi tanamn budidaya dan kondisi lahan.
 







Mencatat data hasil wawancara dengan petani
 
 


 

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1. SistemBudidaya yang  Dijalankan Petani

      Sistem yang dipakai oleh petani ialah system rotasi tanaman padalahan seluas 600m2 dengan jarak tanam 40cmx50cm, dengan pergiliran tanaman hanya tergantung dari permintaan pemanen. Pada musim hujan lebih sering menanam jenis sayur-sayuran seperti bunga kol (varietas Bima, varietas Lola), karena para petani merasa jika melakukan system polikultur kurang optimal hasilnya.
      Pengolahan tanah yang dilakukan cukup dengan pembalikan tanah dengan campuran pupuk kandang. Untuk pemakaian pupuk, lebih sering memakai pupuk mutiara dari pada pupuk kimia/ organik (pupuk kimia seperti Pupuk Urea malah merusak tanah, pupuk organik malah semakin lama dan sedikit produksinya).Hanya saja, biasanya juga menggunakan pupuk olahan sendiri.Dilakukan dengan campuran antara air dan pupuk, terus disiramkan.



4.1.2. Hama yang Ditemukan di Lapang
Hama yang ditemukan di LahanPertanian Hortikultura ini ialah ulat grayak.
Klasifikasi Hama Ulat Grayak


Klasifikasi
Kingdom          :           Animalia
Filum
              :           Arthropoda
Kelas
              :           Insecta
Ordo   
            :           Lepidoptera
Famili
            :           Noctuidae
Subfamili
        :           Amphipyrinae
Famili              :           Noctuidae
Genus                         :           Spodoptera
Spesies           :           SpodopteralituraF.

(Anonymousa,2011)



Ciri-ciriMorfologi/Bioekologi

Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperak-perakan, sayap belakang berwarna keputih-putihan dengan bercak hitam. Malam hari ngengat dapat terbang sejauh 5 kilometer.
Telur berbentuk hamper bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang-kadang tersusun 2 lapis), berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan berkelompok (masing-masing berisi 25 - 500 butir) yang bentuknya bermacam-macam pada daun atau bagian tanaman lainnya.Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina.
Larva mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai kalung/bulan sabit berwarna hitam pada segmen abdomen yang keempat dan kesepuluh.Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan dan hidup berkelompok.

4.1.3. Penyakit yang Ditemukan di Lapang (Klasifikasi, Ciri, danFotoLapang)
Penyakit yang ditemukan di Lahan Pertanian Hortikultura ini ialah Plasmodiophora brassicae., cacar pada daun, dan jamur pada daun yang bermula dari panas matahari dan hujan secara terus-menerus, mengakibatkan daun mulai berjamur kemudian mongering.
Klasifikasi Plasmodiophorabrassicae
Akar bengkak atau akar pekuk (Plasmodiophora brassicae Wor.)


Penyebab: cendawan Plasmodiophora brassicae.
Gejala:
1)    pada siang hari atau cuaca panas, tanaman tampak, tetapi pada malam atau pagi hari daun tampak segar kembali.
2)    pertumbuhan terlambat, tanaman kerdil dan tidak mampu membentuk bunga bahkan dapat mati.
3)    akar bengkak dan terjadi bercak-bercak hitam.

Pengendalian:
1)    memberi perlakuan pada benih seperti poin penyiapan benih.
2)    menyemai benih di tempat yang bebas wabah penyakit.
3)    melakukan sterilisasi media semai ataupun tanah kebun dengan Besamid-G 40-60 gram/m2 untuk arel pembibitan atau 60 gram/m2untuk kebun.
4)    melakukan pengapuran untuk menaikkan pH.
5)    mencabut tanaman yang terserang penyakit.
6)    pergiliran atau rotasi tanaman dengan jenis yang tidak sefamili.
(Cahyono, Bambang. 1995. )


4.1.4.   MusuhAlami yang Ditemukan di Lapang (Klasifikasi, Ciri, dan Foto Lapang)
Musuh alami yang ditemukan di Lahan Pertanian Hortikultura in ialah capung, laba-laba.

KlasifikasiCapung
Kerajaan          :           Animalia
Filum
               :           Arthropoda
Kelas
               :           Insecta
Ordo
                :           Odonata
Upaordo
          :           Epiprocta
Infraordo
         :           Anisoptera
Family             :           Libellulidae
Genus             :           Crocothemis
Species           :           Crocothemis servilia

(Anonymousa, 2011)












Klasifikasi Laba-laba
Kerajaan          :           Animalia
Filum               :          
Arthropoda
Kelas
               :           Arachnida
Ordo
                :           Araneae
Subordo          :           Mesothelae
Keluarga          :           Araneidae
Genus             :           Argiope
Spesies           :           Argiope aurantia

(Anonymousa, 2011)

4.1.5. Kendala Budidaya Tanaman Oleh Petani
Kondisi lahan pertanian di daerah tersebut yang memiliki struktur tanah tidak mantab sehingga tanah mudah runtuh, bias saja karena pengaruh topografi lahan ataupun tingkat curah hujan yang turun pada kondisi wilayah tersebut.
Sedangkan untuk perawatannya, pada musim hujan seperti sekarang ini relative sulit untuk merawatnya karena tingkat penyerangan penyakit tinggi, lalu untuk pemakaian pupuk masih menggunakan pupuk kimia karena dirasa pupuk ini lebih cepat dan banyak produksinya dari pada pupuk organik yang relatif lama dan hasilnya kurang banyak.

Lalu, untuk pengairan di sekitar lahan masih dirasa sulit karena jauh dari sumber mata air. Biasanya para petani menggunakan air luruh-luruhan saat musim kemarau, namun berlebih saat musim hujan.

4.1.6. Pengendali OPT yang Dilakukan Petani
Pengendalian OPT yang dilakukan dibedakan kedalam berbagai macam cara :
a)    Pengendalian secara mekanis atau fisik mencabut gulma secara langsung pada lahan pertanian, selain dengan memakai herbisida pada pengendaliannya.
b)    Pengendalian dengan pestisida sering melakukan pengendalian OPT berupa penyemprotan pestisida kimia seperti Prevaton untuk ulat-ulat, jenis-jenis herbisida untuk gulma dan jenis-jenis fungsida untuk jamur-jamur.

4.1.7.  Kebutuhan Pestisida yang Digunakan dan Teknis Penggunaan Pestisida oleh Petani
Kebutuhan saat pemberian pestisida menyesuaikan ada tidaknya hama. Saat musim hujan pemberian dilakukan 4 kali, musim kemarau dilakukan lebih dari 4 kali, sehingga dalam seminggu bias dilakukan 1 kali. Insektisida yang digunakan adalah Prevaton 50 SC untuk mengendalikan hama ulat daun, ulat grayak, dan serangga-seranggga lain yang menjadi hama tanaman. Sedangkan fungisida yang digunakan adalah Antracol 75 WP untuk mengendalikan jamur pada tanaman bunga kol. Penggunaan insektisida dan fungisida yang di gunakan petani adalah tipe SC dan WP, kedua formulasi ini penggunaannya harus dilarutkan dan diencerkan dengan menggunakan air, setelah di larutkan dalam air disempprotkan dengan menggunakan Handsprayer semiotomatis. Penggunaan pestisida dilakukan berdasarkan dampak serangan OPT dan jumlah hama yang ada pada tanaman budidaya sehingga pemakaian pestisida tidak terlaul banyak dan tidak terlalu merusak lingkungan.

4.1.8 Kondisi Sosial Ekonomi Petani
Kondisi sosial   ekonomi petani di lahan pertanian tesebut biasa dikatakan cukup mampu atau tinggi, karena petani ini tidak hanya memiliki satu lahan yang dikelolanya. Petani memiliiki banyak lahan yang terpisah diantaranya ada yang ditanami tanaman tebu dan padi. Hanya saja, dalam pemasarannya tingkat produksi tidak bias diperkirakan tergantung pada jenis sayur-sayuran yang dipanen dan kondisi jual di pasar. Cara penjualan pun bias dilakukan dengan penimbangan sebelumnya atau pun dengan cara langsung di jual di lahan.
Harga yang dikisar sekitar Rp 2.000 - 2.500 per kilogram dari 1 spet (1 ton) dengan total sekitarRp 150.000.Jika sedang merosot juga pernah sampai hasil berkisar hanya Rp 700. Menurut perhitungna keuntungan yang didapat petani dalam sekali produksi petani mengeluarkan modal untuk biaya produksi, tenaga kerja dan lain-lain sebesar Rp. 2.200.000,- (hitungan terlampir), denngan modal yang sebesar itu dalam sekali panen (40-45 hst) petani apat menghasilkan total produksi bunga kol sebesar ± 1ton (1000 kkg) dengan harga jual yang tergantung musim, rata-rata berkisar antara Rp. 2000 – 2500 per kilogram dapat menghasilkan uang sebanyak ± Rp. 3.000.000 – 3.750.000,- , tetapi bila harga komoditas menurun (tergantung musim) maka hasil yang didapat sangat sedikit bahkan petani merugi. Bila ketersediaan bunga kol dipasar melimpah maka harga per kilo buga kol sangat rendah, dan sebaliknya bila ketersediaan bunga kol dipasar sedikit harganya bias melmbung tinggi. Pernah harga perkilo bunga kol hhanya Rp.700 jadi total yang di dapat hanya Rp. 1.050.000,-

Rincian Biaya Produksi
Luas lahan                   =          600 m2
Jenis tanaman                        =          Bunga kol
Benih                           =          Rp.150.000,-
Pupuk                         =          6500 x 25 kg x 4 =
Rp.650.000,-
Pestisida                     =          ± Rp. 200.000
Tenaga kerja               =          Rp.40.000  x 30 =
Rp.1.200.000,-
Total panen                =
1500kg  x 2000           =          Rp. 3000.000,-  (bila
harga jual per kg
Rp.2000)
=          1500  x 2500
=          Rp.3.750.000,- (bila harga
jual per kg Rp. 2500)
=          1500 kg x 700
=          Rp. 1.050.000,-  (bila
harga jual per kg Rp. 700)


Jenis pestisida yang di gunakan :
Insektisida                   : Prevaton 50 SC
Fungisida                     : Antracol 75 WP

Pupuk :
Pupuk kandang           : kotoran ayam
Puupuk kimia              : NPK Mutiara ( 16:16:16)

Sistem Budidaya         : monokultur dengan lahan
terasiring
Cara pengaplikasian Pestisida : di semprotkan dengan
Handsprayer semiautomatic
Cara pengaplikasian pupuk    : Di cairkan dengan air,
dan ditaburkan di pangkal batang
Dosis pemupukan : menyesuaikan umur (untuk 600 m2
       = 25 kg)


4.2 Pembahasan
4.2.1 Penjelasan Kondisi Ekosistem yang Di temukan (baik dari unsure biotik dan abiotik) (bandingkan dengan literature)
Pada lahan yang diamati yang bertempat di Desa Talangwaru, Kecamatan Dau Kabupaten Malang kondisi ekosistemnya adalah berupa kondisi ekosistem sawah yang di tanamai tanaman hortikultura. Ekosistem di sawah tersebut terdiri dari tanaman yang dibudidayakan secara monokultur (tanaman bunga kol), kondisi lahan dibentuk dengan terasiring karena kemiringan lahan yang cukup tinggi sehingga lahan dibentuk berpetak-petak.  Kondisi tanah di daerah tersebut bertekstur dominan pasir dan debu. Unsur-unsur yang membentuk ekosistem tersebut terdiri dari unsur biotik dan abiotik unsur-unsur biotik terdiri dari tanaman dan hewan.
Tanaman yang terdapat di daerah tersebut antara lain bunga kol, gulma, tanaman lain yang tumbuh disekitar petak sawah, dan sebagainya. Sedangkan hewan-hewan yang terdapat disana antara lain hama-hama tanaman, jamur, dan mikroorganisme dalam tanah.
Pada lahan terdapat berbagai jamur baik yang tumbuh pada tanah, dan yang tumbuh menginfeksi tanaman budidaya. Jamur-jamur yang tumbuh pada tanah dikarenakan pada tanah tersebut sebelum ditanami ditambahkan bahan organik berupa kotoran terbak yang dicampur dengan tanah pada saat pengolahan tanah.
Hal ini dapat memperbaiki sifat fisik, biologi, dan kimia tanah. Dengan adanya penambahan bahan organik dalam tanah hal ini akan mengakibatkan penambahan mikroorganisme tanah.

4.2.2  Analisis Penyebab Timbulnya Gejala Serangan OPT padalahan
Setelah dilakukan pengamatan pada lokasi lahan budidaya di temukan berbagai hama dan penyakit yang menyerang tanaman bunga kol. Hama yang umumnya menyerang bunga kol adalah ulat daun dan kepik. Ulat daun dapat menyerang tanaman dalam berbagai fase pertumbuhan mulai dari persemaian sampai panen. Hal ini dikarenakan kurangnya musuh alami yang terdapat dalam lahan tersebut. Salah satu faktor penyebabnya adalah tipe penanaman yang monokultur, dengan penanaman monokultur akan menambah populasi hama yang sejenis karena ketersediaan makanan yang melimpah sehingga mengakibatan peledakan hama. Penggunaan pestisida kimia juga mengakibatkan penambahan populasi hama.
Penggunaan pestisida kimia memang dalam waktu  seketika akan mematikan hama, tetapi hama tersebut lama-kelamaan akan mengadaptasi zat aktif yang terdapat pada pestisida sehingga pada suatu saat hama tersebut akan mengalami resitensi (pengenbalan zat aktif pada tubuhnya) , dengan kebalnya tubuh hama pada zat kimia tersebut maka pada pengaplikasian pestisida selanjutnya hama akan kebal dan akan mengalami peledakan populasi hama (resurgensi).

4.2.3 Analisis Kendala Pengendalian OPT dan Budidaya Petani
Dalam membudidayakan tanaman yang perlu di perhitungan sebelumnya adalah waktu tanam, komoditas tanaman yang dibudidayakan, dan teknik budidaya yang benar. Teknik budidaya yang benar meliputi waktu tanam, jenis komoditas, teknik pengolahan tanah, pemulsaan tanah, teknik penanaman, teknik pengairan , pemupukan, penanggulangan OPT, penentuan waktu tanam, dan cara pemanenan. Untuk teknik budidaya yang dilakukan pada lahan tempat penelitian teknik penanamannya yang digunakan cukup benar. Penanaman tanaman bunga kol di tanam dengan jarak tanam (50x50 cm) hal ini sesuai dengan petunjuk penanaman yang di anjurkan literature.

4.2.4 Solusi Pengendalian OPT yang Dapat Diterapkan di Lahan Observasi Berdasarkan Konsep  PHT
Dilema yang dihadapi dalam usaha budidaya tanaman saat ini adalah di satu sisi cara mengatasi masalah OPT adalah penggunaan pestisida kimia sintetis yang dapat menekan kehilangan hasil akibat OPT, tetapi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Di sisi lain, tanpa pestisida kimia sintetis akan relatif lambat bahkan sulit menekan kehilangan hasil akibat OPT. Padahal tuntutan masyarakat dunia terhadap produk pertanian menjadi bertambah tinggi terutama masyarakat negara maju, tidak jarang hasil produk pertanian kita yang siap ekspor ditolak hanya karena tidak memenuhi syarat mutu maupun kandungan residu pestisida yang melebihi ambang toleransi (Setyono, 2009 dan Anonim, 2009 dalam Edi Gunawan, 2010 : Pengendalian OPT secara hayati yang ramah lingkungan dan berkelanjutan).
Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis (mengakibatkan terjadinya resistensi hama sasaran, resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami) serta mengakibatkan peningkatan residu pada produk pertanian. Oleh karena itu perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan semakin besar untuk menurunkan penggunaan pestisida kimia sintetis.
Pelaksanaan program PHT pada tahun 1980-an, merupakan langkah yang sangat strategis dalam kerangka tuntutan masyarakat dunia terhadap berbagai produk yang aman konsumsi, menjaga kelestarian lingkungan, serta pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan yang memberikan manfaat antar waktu dan antar generasl (Saptana at al., 2010 dalam Edi Gunawan, 2010). Salah satu komponen pengendalian dalam sistem PHT yang sesuai dan menunjang pertanian berkelanjutan adalah cara pengendalian hayati, karena pengendalian ini lebih selektif (tidak merusak organism yang berguna dan manusia) dan lebih berwawasan lingkungan. Pengendalian hayati berupaya memanfaatkan pengendali hayati dan proses-proses alami. Cara pengendalian seperti ini adalah salah satu cara yang dimaksud sebagai pengendalian OPT ramah lingkungan dalam UU Hortikultura No 13/2010.
Penggunaan pestisida dalam PHT sesungguhnya bukanlah cara pilihan utama namun bukan barang haram untuk dipilih sebagai cara pengendalian. Akan tetapi apabila pestisida dipilih sebagai satu-satunya cara pengendalian (setelah dinilai cara pengendalian lain tidak/ kurang berhasil untuk mengendalikan OPT), maka penggunaannya haruslah dilakukan dengan memperhatikan cara- cara yang bijaksana (baik dan benar) dan aman konsumsi serta berdampak seminimal mungkin terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran dan musuh alami.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
·           Sistem yang dipakai oleh petani ialah system rotasi tanaman padalahan seluas 600m2 dengan jarak tanam 40cmx50cm, dengan pergiliran tanaman hanya tergantung dari permintaan pemanen. Pada musim hujan lebih sering menanam jenis sayur-sayuran seperti bunga kol (varietas Bima, varietas Lola), karena para petani merasa jika melakukan system polikultur kurang optimal hasilnya.
·           Teknik budidaya yang benar meliputi waktu tanam, jenis komoditas, teknik pengolahan tanah, pemulsaan tanah, teknik penanaman, teknik pengairan , pemupukan, penanggulangan OPT, penentuan waktu tanam, dan cara pemanenan. Untuk teknik budidaya yang dilakukan pada lahan tempat penelitian teknik penanamannya yang digunakan cukup benar. Penanaman tanaman bunga kol di tanam dengan jarak tanam (50x50 cm) hal ini sesuai dengan petunjuk penanaman yang di anjurkan literature.
·           Pengendalian OPT yang dilakukan dibedakan kedalam berbagai macam cara :
a)  Pengendalian secara mekanis atau fisik mencabut gulma secara langsung pada lahan pertanian, selain dengan memakai herbisida pada pengendaliannya.
b)  Pengendalian dengan pestisida sering melakukan pengendalian OPT berupa penyemprotan pestisida kimiaMengetahui jenis OPT yang dominan menyerang pada tanaman bunga kol

5.2 Saran (rekomendasi untuk petani)
1. Sebaiknya dalam penggunaan pestisida harus mengikuti petunjuk yang benar sehingga     dapat mengurangi dampak negatif kedepannya.
2. Kerja sama antara petani  dan petugas penyukuh lapang lebih ditingkatkan agar dikemudian hari hasil produksi lebih baik.
5.3 Kesan Selama Praktikum
1. Laporan membuat sebagian praktikan pusing karena kita belum terbiasa dengan    rutinitas selama praktikum.
2. Selama praktikum menyenangkan karena asisten mengajarnya secara dua arah dan        bisa      diajak sharing masalah pekuliahan.
3. Selama praktikum kita mendapat banyak ilmu baru terutama tentang nama-nama latin      hama dan penyakit tanaman.
4. Banyak berkerja dilapang karena kita harus mencari hama dan penyakit secara     langsung di ladang pertanian.
           

5.4 Saran danKesan (untuk asisten)

Saran: “seperti kata asisten klimatologi kami adalah SANTAI”
Kesan: “Selalu memberi warna saat praktikum, sehingga selalu memberikan kenangan disetiap praktikum”
DAFTAR PUSTAKA


Anonymousa, 2011. http://www.wikipedia.com
Astuti, Isti. 2006. Petunjuk Praktikum Perlindungan Tanaman. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) jurusan penyuluhan pertanian Magelang, Yogyakarta
Cahyono, Bambang. 1995. Cara Meningkatkan Budidaya Kubis. D), Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Oka, Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor